Selasa, 27 Maret 2012

Dampak Positif dan Negatif dari Intensifikasi Pertanian

    

Revolusi hijau terdiri dari intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
     Intensifikasi pertanian adalah usaha untuk memperbaiki sistem produksi secara intensif agar memperoleh hasil yang optimal. Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu:
1. Teknik pengolahan lahan pertanian
2. Pengaturan irigasi
3. Pemupukan
4. Pemberantasan hama
5. Penggunaan bibit unggul
     Kegiatan intensifikasi pertanian ini menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap produksi dan ekologi di Indonesia. Dampak positif intensifikasi ini, yang merupakan bagian dari Revolusi Hijau, adalah : produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada. Revolusi Hijau (pengembangan lebih banyak pada intensifikasi) di Indonesia telah menyelamatkan 50% jumlah penduduk dari bahaya kelaparan kronis yang dapat berakibat kematian. Apabila Revolusi Hijau tidak dilakukan, Indonesia harus mengimpor beras sebanyak 14 juta ton dari pasar dunia, yang kemungkinan tidak cukup tersedia, atau tidak tersedia devisanya. Dengan tingkat swasembada beras 56% (seandainya tidak ada penerapan Revolusi Hijau), dapat diperkirakan harga beras akan sangat mahal seperti halnya pada tahun 1950-1965, yang akan berakibat pada bahaya kelaparan dan kematian.
     Sedangkan dampak negatif dari intensifikasi pertanian (Revolusi Hijau) adalah :
1.  Dampak pengolahan tanah
              Seringkali terlihat para petani mengolah tanah dengan cara membajak sawah, sawah dialiri air hingga tergenang, dan terkadang kelebihan air dialirkan ke got dan akhirnya masuk ke sungai. Jadi, di sawah terjadi pencucian unsur hara yang selanjutnya dibuang ke sungai sehingga menyebabkan kesuburan tanah menjadi semakin berkurang.
             Keberhasilan meningkatkan hasil panen padi dengan teknologi baru membuat petani cenderung menanam padi lebih sering dalam pola pertanamannya dengan menggantikan tanaman lain yang biasanya tanaman pangan legum. Akibatnya proses penyuburan tanah melambat disamping pengaruhnya menurunkan nilai gizi penduduk berkenaan dengan penurunan bekalan protein.
2.  Dampak pemupukan
            Pemupukan dilakukan untuk memberikan zat makanan yang optimal kepada tanaman agar tanman dengan memberikan hasil yang cukup. Pemupukan dan pupuk buatan dapat menyebabkan tanah menjadi masam.
3.  Dampak pestisida
4.  Dampak pengaturan irigasi
5.  Dampak penggunaan bibit unggul




    

Penyakit Kudis (Streptomyces ipomoeae)


Gambar :





Penyakit kudis pada ubi jalar (Ipomoea batatas) disebabkan oleh Streptomyces ipomoeae. Penyakit ini disebut juga dengan cacar atau busuk akar kecil. Patogen ini menyerang bagian bawah tanaman termasuk akar, umbi, dan pangkal batang. Penyakit ini dapat mulai menyerang pada setiap tahap pertumbuhan tanaman, ketika kondisi sesuai dan cocok untuk perkembangan pathogen ini (terutama cuaca kering). . S. ipomoeae juga menginfeksi anggota lain dari keluarga tumbuhan Convolvulaceae.
Infeksi pada sistem akar fibrosa sering disebut sebagai "busuk akar kecil". tanaman yang terkena menjadi kerdil, daun lebih kecil dan pucat.

Streptomyces ipomoeae termasuk pathogen tular tanah, bersifat aerobik, sangat oksidatif, gram positif , membentuk rantai 3-10 spora oval (miselium), 0,8 -0,9 x 0,9-1,8 μm, dengan dinding halus. Spiral adalah radius sekitar 3-5 μm yang mungkin tidak lengkap, memberikan kait dan loop, atau 1-2 bergantian.
Dalam media kultur, koloni memiliki sporulasi hijau kebiruan, tetapi tidak memiliki bau khas genus Streptomyces lainnya.

Biologi dan ekologi

Patogen tular tanah ini dan penyebarannya terjadi melalui pergerakan air, manusia dan binatang, alat-alat yang terinfeksi, bahan tanam yang terinfeksi, dan kotoran sapi. Bakteri tetap aktif sampai inang ada dan kondisi yang tepat untuk infeksi. Jika bakteri ini telah ada di dalam tanah maka susah untuk menghilangkan atau memusnahkan pathogen ini.
Penyakit ini berkembang ketika cuaca kering, pH tanah di atas 5.2 dan suhu hangat.

Host kisaran

Inangnya berupa Ipomoea batatas (ubi jalar) dan dapat menginfeksi spesies lain dari family Convolvulaceae.

Pengendalian yang dapat dilakukan

1.     Menanam tanaman tahan seperti Beauregard dan Jasper, menunjukkan tingginya tingkat perlawanan sementara beberapa kultivar seperti Jewel dan Centennial, sangat rentan.
2.     Kultur teknis yang baik.
3.     Rotasi tanaman yang bukan tanaman yang sama penyakitnya dengan ubi jalar.
4.     Hindari kekeringan tanah dengan pengaturan irigasi yang tepat waktu.
5.     Hati-hati pemilihan bahan tanam.
6.     Hindari pengantar dari lahan yang terinfeksi ke lahan yang belum terinfeksi, dengan membatasi pergerakan peralatan, hewan, pupuk atau bahan tanam.
7.     Penggunaan fumigasi tanah dengan chloropicrin.

Teknik Pembuatan Herbarium dan Awetan Basah


Pembuatan awetan spesimen diperlukan untuk tujuan pengamatan spesimen secara praktis tanpa harus mencari bahan segar yang baru. Terutama untuk spesimen-spesimen yang sulit di temukan di alam. Awetan spesimen dapat berupa awetan basah atau kering. untuk awetan kering, tanaman diawetkan dalam bentuk herbarium, sedangkan untuk mengawetkan hewan dengan sebelumnya mengeluarkan organ-organ dalamnya. awetan basah, baik untuk hewan maupun tumbuhan biasanya dibuat dengan merendam seluruh spesimen dalam larutan formalin 4%.
Awetan yang telah dibuat kemudian dimasukkan dalam daftar inventaris koleksi. pencatatan dilakukan kedalam field book/collector book. sedangkan pada herbarium keterangan tentang tumbuhan dicantumkan dalam etiket. dalam herbarium ada dua macam etiket, yaitu etiket gantung yang berisi tentang; nomer koleksi, inisial nama kolektor, tanggal pengambilan spesimen dan daeran tingkat II tempat pengambilan (untuk bagian depan) dan nama ilmian spesimen (untuk bagian belakang).
Pada etiket tempel yang harus dicantumkan antara lain; kop( kepala surat) sebagipengenal indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No)nomer koleksi,(dd)tanggal ambil, familia, genus, spesies, Nom. Indig(nama lokal), (dd) tanggal menempel, (determinasi)nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula) pulau tempat mengambil, (m. alt) ketinggian tempat pengambilan dari permukaan air laut, (loc) kabupaten tempat pengambilan, dan (annotatione) deskripsi spesimen tersebut.



Alat dan Bahan :
a. Herbarium
1. Karton/duplek   2. Kertas koran   3. Sasak dari bambu/tripleks    4. Sampel tanaman
5. Alat tulis
b. Awetan basah
1. Botol jam    2. Sampel specimen    3. Formalin   4. Akuades    5. Gelas ukur    6. Kertas label

           Cara Kerja :
a.      Membuat Herbarium
1.      Ambil salah satu tanaman/ bagian dari tanaman
2.  Cara 1 : masukkan tanaman itu pada sasak bambu yang telah dibuat dan keringkan tanaman dengan penjemuran terhadap cahaya matahari.
Cara2 : atur posisi tanaman pada lembaran koran hingga rata.lapisi lagi dengan beberapa lembar koran, tangkup dengan tripleks pada kedua sisinya lalu ikat dengan kencangsehingga tanaman ter-press dengan kuat. ganti koran dengan yang kering setiap kali koran pembungkus tanaman basah. lakukan berulang-ulang hingga tanaman benar-benar kering.
3. Tanaman dikatakan kering jika sudah cukup kaku dan tidak terasa dingin.
4. Tanaman yang akan dibuat herbarium, sebaiknya memiliki bagian-bagian yang lengkap. jika bunga nya mudah gugur maka masukkan bunga tersebut dalam amplop dan selipkan pada herbarium . daun atua bagian tanaman yang terlalu panjang bisa dilipat.
5. Tempelkan tanamanyang telah dikeringkan pada karton dengan menggunakan jahitan tali/ selotip. usahan kenampakan atas dan kenampakan bawah daun diperlihatkan.
6. Lengkapi keterangan yang terdapat pada collector book
7. Pasang etikenya.
b. Membuat Awetan Basah
1. Siapkan spesimen yang akan diawetkan
2. Sediakan formalin yang telah diencerkan sesuai dengan keinginan.
3. Masukkan spesimen pada larutan formalin yang telah ada dalam botol jam dan telah diencerkan.
4, Tutup rapat botol dan kemudian diberi label yang berisi nama spesimen tersebut dan familinya.

Sumber :

Minggu, 25 Maret 2012

Laporan PTA


LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
PESTISIDA DAN TEKNIK APLIKASI



OLEH :
                                   NAMA            : MONITA PUSPITASARI
                                   BP                   : 0810211020
                                   KELOMPOK  : 1
                                   ASISTEN       : FEDRIK MENDYSA AGUSTA
                                     AMALYA ROSYA






PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2011




I.         PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Proteksi dan perlindungan tanaman merupakan satu faktor teknis budidaya yang akhir-akhir ini menjadi perhatian para petani. Proteksi dan perlindungan tanaman yang dimaksud adalah melindungi tanaman dari serangan hama dan penyakit. Cara yang digunakan oleh para petani untuk menanggulangi hama dan penyakit tersebut adalah dengan penggunaan insektisida. Insektisida adalah zat kimia sintesis yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama dan penyakit yang disebabkan oleh serangga yang menyerang tanaman (Cahyono, 2002).
Pengendalian hama penyakit tanaman merupakan salah satu faktor yang menentukan keberhasilan usaha tani. Pernah ada anggapan bahwa pengendalian hama yang paling efektif adalah dengan penyemprotan pestisida. Namun setelah terasa ada dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia yang secara tidak bijaksana maka para ahli hamapun tidak lagi berkampanye untuk membesar-besarkan penggunaan racun pestisida. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut yaitu dengan penggunaan pestisida nabati. Pestisida sintetik telah menyebabkan hama kebal terhadap pestisida, selain itu dosis penyemprotan yang berlebihan, dan pe-nyemprotan pestisida yang dilakukan secara berulang-ulang menimbulkan pencemaran lingkungan. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan pestisida nabati. Pestisida nabati memiliki keunggulan berupa harga yang relatif murah, dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan (Sudarmo, 2005 cit Intan, 2008).
Beberapa jenis pestisida nabati yang biasa digunakan adalah yang bahan dasarnya tumbuhan seperti daun dan biji mimba, daun dan biji mindi, lombok, bawang putih, umbi gadung, biji sirsak, akar, batang dan daun tembakau, daun pepaya, daun gamal, ranting dan kulit pacar cina, daun sirih hutan, biji jarak, bunga piretrum, ataupun akar tuba. Thitonia diversifolia (Kipait), Ricinus communis Linn (Jarak), Piper betel Linn (Sirih hutan) merupakan bahan yang akan dijadikan pestisida nabati karena mudah didapat dan sudah terdaftar sebagai pestisida nabati yang termanfaatkan dan diharapkan apabila diaplikasikan di lapangan tidak mengganggu organisme bukan sasaran.
Berdasarkan kejadian tersebut, maka dalam pengendalian hama dan penyakit diperlukan dua pengetahuan dasar, yaitu teknologi dan biologi. Pengetahuan teknologi yang diperlukan meliputi alternatif teknologi paling tepat untuk digunakan dalam menekan populasi atau pengaruh hama.
Alternatif teknologi ini diantaranya termasuk teknologi penggunaan pestisida, teknologi pemanfaatan bahan-bahan alami (biologi), teknologi kultur teknis(budidaya), fisik, mekanik, rekayasa genetik, alat-alat pengendalian, dan lain-lain. Pengetahuan biologi diperlukan antara lain untuk menentukan dimana, kapan, dan bagaimana teknologi itu harus digunakan. Pengetahuan biologi yang dibutuhkan tidak haya mencakup biologi dari hama itu sendiri tetapi juga biologi dari tanaman dan musuh alami hama.
Pengetahuan biologi yang diperlukan antara lain : (1) biologi spesies hama (jenis dan sifat hama, fenologi hama, kepadatan populasi, potensi merusak, dll), (2) kisaran inang (monofag, oligofag, dan poligofag), (3) biologi tanaman (jenis tanaman dan tingkat ketahanan tanaman), dan (4) biologi musuh alami (jenis dan sifat musuh alami, fenologi musuh alami, tingkat parasitasi/patogenisitas). Agar pengendalian yang dilakukan dapat memberikan hasil yang memuaskan, maka Rizal (2001) mengemukakan empat persyaratan berikut : (1) pengendalian hama harus selektif terhadap hama yang dikendalikan, (2) bersifat komprehensif dengan sistem produksi, (3) kompatibel dengan prinsip-prinsip ekologi, dan (4) bersifat toleran terhadap spesies yang potensial dapat merusak tanaman tetapi masih dalam batas-batas yang secara ekonomis dapat diterima.
Mengacu pada persyaratan tersebut, maka oleh para ahli perlindungan tanaman pengertian Pengendalian Hama kemudian dipertajam menjadi Konsepsi Pengelolaan Hama dengan memasukan komponen lingkungan serta eksplisit, yaitu bahwa Pengendalian Hama atau Pengelolaan Hama yaitu pendekatan yang komprehensif dalam pengendalian hama dengan menggunakan kombinasi berbagai cara untuk menurunkan status hama sampai tingkatan yang dapat ditoleransikan sementara qualitas lingkungan dapat tetap terjaga dengan baik.
Pengertian ini hampir sama dengan Pengertian Pengenalian Hama Terpadu, diantaranya yaitu : (1) Menurut Sarjan (2004), PHT adalah sebagai strategi penanganan secara bersama terhadap hama dengan cara memaksimumkan efektivitas faktor-faktor pengendalian biologis dan budidaya tanaman, penerapan pengendalian kimiawi hanya dilakukan apabila diperlukan, dan meminimumkan  kerusakan-kerusakan lingkungan. Dalam penerapannya, PHT memerlukan pengitegrasian berbagai taktik pengendalian ke dalam strategi pengelolaan secara konprehensifdengan pertimbangan ekonomis dan ekologis.
Menurut Lahmuddin (2004),  PHT memadukan berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam perpaduan yang paling efektif dalam mencapai stabilitas produksi, dengan seminimal mungkin bagi manusia dan lingkungan. PHT adalah strategi pengendalian hama berdasarkan potensi ekologi yang menitik beratkan pada pemanfaatan faktor-faktor pengendali alami, seperti musuh alami dan cuaca, serta mencari taktik pengendalian yang seminimal mungkin menyebabkan bekerjanya faktor-faktor pengendali alami tersebut. Penggunaan pestisida hanya dilakukan setelah pelaksanaan pengamatan populasi hama dan pengendali alami secara sitematik.
PHT tidak anti terhadap pestisida, tetapi bagaimana menggabungkan penggunaan pestisida dengan metoda pengendalian lain.      

1.2  Tujuan Praktikum
Pratikum pestisida dan teknik aplikasi bertujuan untuk mengetahui pestisida secara keseluruhan, sehingga dapat diaplikasikan sesuai dengan ketentuan penggunaan dengan berbagai alat aplikasi dengan mengedepankan kelestarian lingkungan pertanian yang berkesinambungan. 




II.     TINJAUAN PUSTAKA

2.1    Pestisida Sintetik secara Umum
Salah satu tantangan terbesar yag dihadapi dunia saat ini adalah masalah produksi bahan pangan yang tidak cukup untuk mengimbagi pertumbuhan populasi penduduk dunia yang sangat cepat. Menurut Biro Statistik Amerika Serikat diketahui bahwa usaha peningkatan produks pangan menjadi masalah yang mendesak untuk ditangani. Oleh sebab itu, salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan pestisida yang dapat meminimalkan kehilangan hasil akibat serangan organism pengganggu tanaman (OPT) (Kardinan, 2002).
Pengertian pestisida sebenarnya luas sekali karena meliputi produk-produk yang digunakan dibidang pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, dan kesehatan masyarakat. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7/1973, pestisida adalah semua zat kimia atau bahan lainnya serta jasad renik dan virus yang digunakan: 1) mengendalikan atau mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman dan hasil-hasil pertanian, 2) mengendalikan rerumputan, 3) mengendalikan atau mencegah hama-hama luar pada hewan-hewan peliharaan, 4) mengendalikan hama-hama air, 5) mengendalikan binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan tanaman, tanah dan air (Djojosumarto, 2000).
Penggunaan pestisida dalam pertanian telah menunjukkan kemampuan dalam menanggulangi merosotnya hasil akibat serangan hama dan penyakit. sejarah telah menunjukkan bahwa dengan adanya pestisida, Negara yang nyaris akan kelaparan karena letusan hama dapat terhindar. Meningkatnya pemakaian pestisida dimulai semenjak pelaksanaan Bimas Gotong Royong yang selanjutnya kemudahan-kemudahan yang ada pada Bimas yang disempurnakan mendorong petani untuk menggunakan insektisida sebagai satu-satunya untuk perlindungan tanaman (Wikipedia, 2011).

2.2    Tanaman Kubis
Kubis ( Brassica oleracea L.) merupakan salah satu sayuran yang berasal dari daerah subtropis yang telah lama dikenal dan dibudidayakan oleh Indonesia. Produksi kubis dinegara kita selain memenuhi kebutuhan dalam negeri, juga merupakan komoditas ekspor yang cukup menjanjikan  dan perlu peningkatan produksinya (Pracaya,1989).
Di Indonesia, tanaman kubis umumnya diusahakan secara intensif di daerah dataran tinggi (Balai Penelitian Holtikultura, 1993). Dalam usaha peningkatan produksi tanaman kubis, serangan hama dan patogen merupakan kendala utama selama ini. Sampai saat ini telah banyak ditemukan hama-hama yang menyerang tanaman kubis, diantaranya ada tiga hama utama yaitu : Plutella xylostella, Spodoptera litura Fabricius. Hama yang lain ditemukan adalah Agrotis ipsilon, Liriomyza huidobrensis, Trichoplusia ni, Myzus persicae, Gryllotalpa hirsute, Brachytrypes poetentosus, Gryllus mitratus (Pracaya, 1986).
Sampai saat ini, untuk pengendalian hama dan penyakit pada pertanaman kubis masih digunakan pestisida sintetik. Penggunaan pestisida sintetik yang tidak bujaksana dapat menimbulkan dampak negative seperti terjadinya resisteni hama terrhadap insektisida, resurgensi, peledakan hama sekunder, berkurangnya keanekaragaman hayati musuh alami, dan efek residu yang mencemari lingkungan Selain itu, penyemprotan insektisida tertentu dapat meningkatkan kepridian dan lama hidup ulat daun kubis seperti penyemprotan permethrin, acephate, dan quinalpos (Rukmana, 1994).

2.3    Crocidolomia pavonana
Crocidolomia pavonana merupakan hama penting pada pertanaman Brassicaceae. Di Indonesia hama ini dikenal dengan nama ulat titik tumbuh, ulat krop/ulat hati kubis (Khalsoven, 1981). Perkembangan C. pavonana mengalami metamorfosa lengkap yaitu stadia telur, larva, pupa dan imago. Stadia yang merusak tanaman adalah larva. Telur diletakkan secara berkelompok di permukaan bagian bawah daun. Mula-mula telur berwarna hijau cerah atau kekuningan yang kemudian berubah menjadi kuning kemerahan hingga coklat tua sebelum menetas. Jumlah telur perkelompok bervariasi dari 8- 144 telur dengan rata-rata periode telur 4-8 hari, pada suhu 26-33,2oC (Othman,1982).
Kelompok telur dari C. pavonana tersusun menyerupai atap genteng yang berwarna kekuningan, berukuran sekitar 3 x 5 mm, diameter 0,7 x 1,0 mm, imago dapat menghasilkan 11-18 kelompok telur dan masing-masing kelompok telur mengandung sekitar 30-80 butir telur (Kalshoven, 1981). Mula-mula telur berwarna hijau muda, jernih dan mengkilap hampir sama dengan warna daun kubis. Mendekati saat menetas warnanya berangsur-angsur berubah menjadicoklat muda dan menpunyai bintik hitang ditengahnya. Bintik hitam pada telur itu adalah kepala larva instar pertama (Lubis, 1982). Lama stadium dari telur ini adalah sekitar 4-6 hari (Balai Penelitian Holtikultura, 1993).
Larva dari C. pavonana terdiri dari lima instar dan biasanya dijumpai berkelompok pada bagian bawah daun kubis (Balai Penelitian Holtikultura, 1993). Larva instar satu berwarna hijau kekuning-kuningan dengan kepala coklat (Sudarmo, 1992).  Tetapi menurut Lubis (1982), larva instar satu dari C. pavonana berwarna hijau muda, kepalanya hitam dengan permukaan tubuhnya ditumbuhi rambut-rambut halus. larva ini masih lemah dan lebih banyak berdiam diri dengan menutup tubuhnya dengan benang-benang putih halus yang keluar dari mulutnya. Ukuran tubuhnya rata-rata 1,7 x 0,3 mm.
Larva instar dua yang baru berganti kulit berwarna hijau pucat, kepalanya berwarna coklat kemerah-merahan. Sewaktu berganti kulit kadang-kadang sulit ditemukan bekas kulit karena bekas kulit tersebut dimakan oleh larva. Biasanya yang ditinggal hanya bagian kepalanya yang keras. Pada bagian sisi dari tubuh larva terdapat pita yang berwarna hijau. Larva instar dua ini sudah bergerak aktif memakan daun hingga berlubang. Ukuran tubuhnya rata-rata 8,6 x 0,9 mm pada tanaman kubis (Lubis, 1982).
Setelah mencapai instar tiga, larva memencar dan mulai menyerang daun bagian lebih dalam dan seringkali masuk ke pucuk tanaman serta menghancurkan titik tumbuh. Apabila serangan terjadi pada kubis yang telah membentuk krop, larva ini menggorok ke dalam krop dan merusaknya sehingga darpat menurunkan nilai ekonomi (Permadi, 1993). Di sekitar tubuhnya menumpuk kotoran larva yang berwarna hijau muda. Ukuran larva rata-rata 13,1 x 1,4 mm (Lubis, 1982).
Larva instar empat berwarna hijau muda pada kubis dan keabu-abuan pada lobak. Kepala dan tungkainya berwarna kecoklatan.garis hijau yang membujur pada bagian vertal makin jelas. Larva memakan daging daun dan meninggalkan tulang daun pada kubis, sedangkan pada lobak seluruh bagian daun dimakannya. Kotoran larva pada daun makin banyak. Mendekati masa prapupa, larva instar empat bergerak lamban dan tidak aktif makan. Pada lobak larva menggulung daun. Ukuran larva instar ini rata-rata 17,5 x 2,6 mm (Lubis, 1982).
Pada instar lima, larva berwarna kuning kehijauan dengan kepala berwarna kehitaman. Pada bagian punggung dan tubuh bagian samping larva terdapat garis membujur berwarna coklat (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, 1994). Stadia larva mulai dari instar satu sampai lima berkisar antara 11-17 hari. Larva instar satu 2-4 hari, larva instar dua 1-3 hari, larva instar tiga 1-3 hari, larva instar empat 1-5 hari, dan larva instar lima (prapupa) 3-7 hari (Othman, 1982).
Larva berkepompong (berpupa) di dalam tanah dengan kokon yang diselimuti butiran tanah (Rukmana, 1994). Menurut Suyanto (1994) bahwa pupanya berwarna kemerah-merahan, terletak di dalam tanah yang terbungkus partikel-partikel tanah. Ukuran pupa 14.4 x 7,9 mm dan masa pupa berlangsung selama 9 – 10 hari.
Imago (jantan dan betina) yang disebut ngengat keluar dari pupa dengan memecah bagian ventral toraks. Ngengat yang keluar dari pupa masing sangat lemah.Setelah lebih dari satu jam baru terbang. Pada kepala terdapat probosis (belalai) yang menggulung dan antena filiform (seperti benang). Tungkai depan lebih pendek dari tungakai belakang. Abdomen ngengat yang betina lebih besar,tetapi lebih pendek dari ngengat jantan. Ujung abdomen yang jantan lebih tumpul dan lebih banyak ditumbuhi rambut-rambut halus (Lubis,1982).

2.4    Pestisida Nabati secara Umum
Pestisida nabati adalah pestisida yang menggunakan senyawa sekunder tanaman sebagai bahan bakunya. Beberapa senyawa sekunder tanaman yang telah berhasil diidentifikasi adalah eugenol, azadirachtin, geraniol, sitronelol, dan tanin. Senyawa ini mampu mengendalikan berbagai jenis hama dan penyakit tanaman sehingga berpotensi untuk dikembangkan ( Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2010).
Pemanfaatan pestisida nabati akan berdampak luas terhadap kelangsungan ekspor komoditas pertanian Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kecenderungan masyarakat internasional yang menghendaki produk pertanian bebas residu pestisida serta dikelola berdasarkan prinsip pelestarian lingkungan. Bahan aktif pestisida nabati terbukti kurang toksik terhadap mamalia serta mampu menjaga kelestarian lingkungan karena tidak membahayakan organisme bukan sasaran seperti parasit, predator, dan polinator (serangga penyerbuk). Di alam, bahan aktif pestisida nabati mudah terurai oleh cahaya matahari sehingga residunya yang terbawa pada produk pertanian dapat diabaikan. Pestisida nabati juga tidak menyebabkan resistensi hama karena bahan aktifnya tersusun atas beberapa senyawa kimia. Hal ini menyulitkan serangga untuk membentuk strain baru yang resisten terhadap senyawa tertentu ( Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2010).
2.4.1   Sirih-sirih (Piper aduncum L.)
Tumbuhan sirih-sirih merupakan sejenis gulma yang dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Sirih-sirih diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas Dicotyledon, ordo Piperales, family piperaceae, genus Piper, dan spesies Piper aduncum L. (Heyne, 1987).
Tumbuhan ini berasal dari Amerika Selatan dan telah tersebar di seluruh bagian Amerika tropis, Papua Nugini, Jawa, dan Sumatera (Orjala et al., 1993).  
Sirih-sirih bisa mencapai tinggi 5-15 m. Batang sirih-sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat, beruas, dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang tunggal berbentuk jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai, dan mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Panjangnya sekitar 5-8 cm dan lebar 2-5 cm. Bunganya majemuk berbentuk bulir dan terdapat daun pelindung kurang lebih 1 mm berbentuk bulat panjang. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5-3 cm dan terdapat dua benang sari yang pendek sedangkan pada bulir betina panjangnya sekitar 1,5-6 cm dimana terdapat kepala putik 3-5 buah yang berwarna putih dan hijau kekuningan. Buah masak warnanya hijau gelap dengan panjang 12-14 cm (Mooryati, 1998).
Bagian sirih-sirih yang dimanfaatkan adalah daunnya. Daun sirih-sirih mengandung minyak atsiri dengan senyawa yaitu apiole, flavonoid, lignin, dillapiol fenilpropanoid (Syamsu dan Hutapea, 1991). Senyawa dillapiol fenilpropanoid bersifat antimakan terhadap Spodoptera litura (Bastos et al., 2003 dan Reli et al., 2007). Senyawa dillapiol fenilpropanoid bersifat racun perut dan kontak terhadap hama Sitopilus zeamais (Estrela et al., 2006).

2.4.2   Tanaman Titonia/Kipait (Tithonia diversifolia A. Gray)
Kipait (Tithonia diversifolia A. Gray) merupakan salah satu jenis insektisida nabati yang sumber bahan bakunya melimpah di Sumatera Barat. Kipait termasuk family Asteraceae (satu kelompok dengan bunga matahari) berbentuk semak dengan tinggi 2-3 meter, bunganya berwarna kuning dan mirip dengan bunga matahari (Wagner et al., 1999).
Kipait mampu tumbuh di sembarang tempat dan tanah. Kipait dapat tumbuh baik dari 20 m dpl hingga 900 m dpl. Di Afrika, kipait sering tumbuh pada lahan bekas atau lahan yang tidak dimanfaatkan, bahkan dapat digunakan sebagai pupuk hijau, sebagai sumber N dan K, makanan ternak, kayu bakar, kompos, dan untuk mencegah terjadinya erosi (Jama et al., 2000). Di Sumatera Barat kipait banyak tumbuh di pinggir-pinggir jalan (Hakim, 2001).
Menurut Prijono (1999), jika ditemukan ada sejenis tumbuhan yang tidak terserang oleh hama maka tumbuhan tersebut mungkin dapat digunakan sebagai insektisida nabati. Sebelumnya Rejesus et al (1993) menjelaskan bahwa kipait bersifat racun kontak dan racun pada telur serta menghambat perkembangan larva Plutella xylostella dan merupakan racun pada tikus dengan LD 50 besar dari 5000 mg/kg yang diperlakukan secara oral dan LD 50 besar dari 2000 mg/kg yang diperlakukan secara dermal.
Tumbuhan ini menurut Kardinan (2002) bersifat penolak makan pada hama Tribolium casteneum, sedangkan menurut Manjang (2002), dari hasil profil fitokimia tanaman obat di Sumatera Barat ternyata daun kipait mengandung senyawa alkaloid sehingga dapat digunakan sebagai obat luka, sedangkan di Kenya digunakan untuk mencegah penyakit malaria dan obat sakit perut.
Penelitian Dadang (1999), didapatkan bahwa family Meliaceae dan annonaceae telah diketahui mampu menghambat pertumbuhan larva Crocidolomia pavonana, Plutella xylostella, dan Spodoptera litura. Penelitian Kamal (2006) bahwa kipait lebih bersifat racun perut terhadap hama Plutella xylostella dan kurang pengaruhnya terhadap parasitoid Diadegma semiclausum.
Menurut Perez et al (1992), ternyata ekstrak tumbuhan titonia mengandung zat tagitinin A, tagitinin C, dan hispudin yang dapat sebagai feeding deterent dan dapat menekan perkembangan larva dari ordo lepidoptera dan coleoptera.

2.4.3   Jarak (Ricinus communis)
Ricinus communis tergolong dalam family Euphorbiaeae, ordo euphorbiales disebut juga dengan ricinus, palma Christi,  castor oil, dan castor bean (Huzler, 1967). Di Indonesia tanaman jarak mempunyai banyak sebutan antara lain “kaliki” (Sunda), “jarak” (Jawa), “Kaleke” (Madura), “gloah” (Aceh/Gayo), “lulang” (Karo), dan “dulang” (Tapanuli) (Sujatmaka, 1991).
Jarak diduga berasal dari Etiopia lalu tersebar ke semua negara, terutama negara yang beriklim panas termasuk Indonesia. Bagian tanaman yang secara ekonomis paling menguntungkan ialah bagian bijinya. Dari biji ini dapat diekstrak sehingga menghasilkan minyak jarak yang banyak dimanfaatkan oleh industri seperti obat, cat, tekstil, plastic, dan rem kendaraan. Tanaman ini berupa perdu dan merupakan tumbuhan setahun yang dapat tumbuh dari dataran rendah sampai 800 m dpl. Tingginya dpat mencapai 6 meter. Perbanyakan dapat dilakukan dengan biji. Batangnya bulat, licin, berongga, berbuku, berwarna hijau kemerahan, daunnya tunggal, tumbuh berseling, tangkai daun panjang ujung meruncing, tepi berigi, berwarna hijau. Bunga majemuk dan berwarna kuning orange. Buahnya bulat, berduri lunak, berwarna hijau, berkumpul di dalam tandan dengan tiga ruangan, setiap ruangan berisi satu biji (Kardinan, 2002).
 Daun dan ranting jarak pagar mengandung senyawastigmast - 5 - e n- 3b, 7b -  diol; stigmast-5-en-3b,7a-diol; cholest-5-en-3b,7b-diol; cholest-5-en-3b,7a-diol; campesterol;b-sitosterol. Selain itu terdapat pula senyawa falvonoid, apigenin, dan isvitexi n. Batang  jarak mengandung asam organik seperti iridoits,s aponin, tannin, senyawa fridelin, tetrasiklik triterpen ester jatrocurin, dan scopeletin metal ester. Kulit batangnya mengandung senyawab-amyrin, dan tarasterol.  Sementara itu akar jarak mengandungb-sitosterol,b-D-glukosida,mar mesin,  propasin, curculathyrane Ada n B, diterpenoid jatrophol, jatropholone Ada n B, chomarin tomentin, comarino-lignan jatrophin, serta saponinda n flavonoid. Getah jarak mengandung senyawa curcacyline A dan B, saponin, flavonoida, tannin, dan senyawa-senyawa polifenol. Pada biji jarak terkandung senyawa  alkaloida, saponin, dan sejenis protein beracun yang disebut kursin. Bijinya juga  mengandung 35-45% minyak lemak yang terdiri atas berbagai trigliserida asam  palmitat, stearat, dan kurkalonat (Kardinan, 2002).

2.5    Jamur yang Dipraktikumkan (Cercospora sp pada daun rimbang)
Bercak coklat disebabkan Cercospora canencens ell. et Mart. Jamur ini juga disebut Isariopsis griseola sacc dan Phaeoisariopsis griserola. Jamur ini dapat betahan hidup sampai dua tahun pada sisa-sisa tanaman sakit di dalam biji. Kondisi lingkungan lembab dengan suhu udara antara 20-24oC sangat cocok untuk berkembangnya jamur ini (Putut, 2007).
Penyebaran cendawan ini ke tanaman lain dapat dengan perantaraan angin, percikan air, alat pertanian, serangga dan pekerja kebun. Cendawan ini memiliki konidium berwarna putih bening berbentuk gada terbalik dan bersekat. Jamur ini merusak klorofil daun sehingga menyebabkan proses asimilasi berjalan tidak sempurna(Putut, 2007).
Tanaman kacang panjang yg diserang cendawan ini menunjukkan gejala daunnya berbercak coklat dengan jumlah cukup banyak, bercak berbentuk bulat dengan diameter antara 1-5 mm dan di sekeliling bercak berwarna kuning. Di samping itu, bercak pada permukaan daun bagian bawah berwarna hitam. Pada umumnya, serangan cendawan tersebut banyak terdapat pada daun tua. Pada serangan berat daun akan layu dan gugur. Cendawan ini dapat menyerang polong, tangkai daun, biji dan batang. Pada musim kemarau penyakit ini jarang dijumpai (Putut, 2007).


III.  BAHAN DAN METODA

3.1    Waktu dan Tempat
Praktikum Pestisida dan Teknik Aplikasi ini telah dilaksanakan dari tanggal 23 September -25 November 2011 di laboratorium Ilmu Bioekologi Serangga lantai II Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang.

3.2    Bahan dan Alat
3.2.1   Pengenalan Pestisida
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum pengenalan pestisida yaitu  berbagai macam pestisida yang ada di pasaran. Sedangkan Alat- alat yang digunakan yaitu alat tulis berupa kertas, pena, dan penggaris.

3.2.2   Pengujian Sintetik
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum pengujian sintetik yaitu  pestisida sintetik dengan konsentrasi yang berbeda, antara lain Sidametrin 50 EC, daun kubis sebagai pakan, aqadest, dan larva Crocidolomia pavonana. Sedangkan Alat- alat yang digunakan , yaitu : petri dish, kuas, tissue/kertas saring, dan pinset.

3.2.3   Pengujian Nabati
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum pengujian nabati yaitu ekstrak daun Tithonia diversifolia, daun kubis, aquadest dan  larva C. pavonana. Sedangkan Alat- alat yang digunakan yaitu petri dish, kuas, tissue/kertas saring, dan pinset.

3.2.4   Pengujian Mikroba
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum pengujian mikroba yaitu kertas saring (whatman) yang telah disterilisasi, aquadest, alcohol 70 %, formalin 5% (natrium hipochlorit 1%), tanaman sakit, pestisida nabati (titonia), dan fungisida (Dithane M45). Sedangkan Alat- alat yang digunakan yaitu petri dish plastic dan kaca, gelas ukur, gunting, pisau, dan pinset.

3.3    Cara Kerja
3.3.1   Pengenalan Pestisida
            Cara kerja praktikum ini yaitu mengidentifikasi pestisida yang ada di pasaran.

3.3.2   Pengujian Sintetik
Cara kerja praktikum ini dapat digunakan 2 cara., yaitu :
a.              Racun Perut
Cara pertama yaitu dengan racun perut. Ambil 9 buah petri dish plastic, 3 buah  diberi label Kontrol, dan 6 buah diberi label perlakuan, dimana 3 buah untuk Orthene 75SP, dan # buah untuk Dupont lannate. Lapisi semua petri dish tersebut dengan tissue/kertas saring. Masing-masing petri dish diisi dengan 5 ekor larva Crocidolomia pavonana,, kemudian ditutup. Setelah itu potong-potong daun kubis dengan ukuran sesuai keinginan. Sediakan sebanyak 3  potongan per petri dish. Larutkan masing-masing pestisida ke dalam tabung, kemudian campur dengan aquadest. Setelah itu, masing-masing pestisda tersebut dituangkan ke dalam mangkuk yang berbeda. Celupkan 3 potong daun kubis ke dalam masing-masing mangkuk. Dan kubis untuk kontrol dicelupkan kedalam aquadest. Kering anginkan potongan-potongan daun tersebut. Setelah kering masukan secara bersamaan ke masing-masing petri dish sesuai dengan labelnya.
b.             Racun Kontak
Cara kedua  yaitu dengan racun kontak. Timbang pestisda yang akan digunakan sebanyak konsentrasi yang yang ditentukan. Kemudian masukan ke dalam petri dish, tambahkan aquadest, lalu aduk. Keringkan dalam lemari/ruang asam selam 1 jam.

3.3.3   Pengujian Nabati
Cara kerja praktikum ini, yaitu pertama sediakan 9 buah  petridish dan lapisi dengan tisu. Kemudian daun kubis dipotong kecil-kecil dan dicelupkan ke dalam ekstrak daun Tithonia diversifolia. Kering angin kan,  setelah itu dimasukkan 2 potong daun ke masing-masing petri dish. Selanjutnya letakkan masing-masing 10 larva C. pavonana setiap petridish.

3.3.4   Pengujian Mikroba
Cara kerja praktikum ini yaitu pertama diambil bagian tanaman yang sakit terserang jamur (tanaman apa saja). Kemudian dipotong kecil-kecil bagian yang sakit dan dilebihkan bagian yang sehat. Rendam sebanyak 5 potongan daun ke dalam ekstrak daun sirih-sirih, fungisida, dan control aquadest masing-masing selama 3 menit. Kemudian dikering anginkan, dan dimasukkan ke dalam petridish yang telah dilapisi tissue.

3.4    Pengamatan
3.4.1   Pengenalan Pestisida
Pengamatan berupa identifikasi pestisida yang meliputi nama dagang, bahan aktif, formulasi, OPT sasaran, Nama umum, dan dosis pestisida tersebut.
          
3.4.2   Pengujian Sintetik
Pengamatan yang dilakukan yaitu menghitung mortalitas dari C. pavonana setelah aplikasi pestisida selama 7 hari berturut-turut.

3.4.3   Pengujian Nabati
Pengamatan yang dilakukan yaitu menghitung mortalitas dari C. pavonana setelah aplikasi pestisida selama 5 hari berturut-turut.

3.4.4   Pengujian Mikroba
Pengamatan dilakukan terhadap perkembangan jamur setelah 2x24 jam. Dilihat pada perlakuan apa jamur paling cepat berkembang.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1  Pengenalan Pestisida
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 1. Hasil pengamatan Pengenalan Pestisida
Nama Dagang
Jenis Formulasi
Wujud fisik
Komposisi
Bentuk campuran
OPT sasaran
Jenis
Metal
EC
Kuning pekat
Sipermentri
Emulsi
SE, Plutella, croci
Insektisida
Ripcord
EC
Kuning Pekat
Sipermetrin
Emulsi
Serangga
Insektisida
Condifor
SL
Pekat Coklat
Imodakloprit
Larutan
Serangga
Insektisida
Kanom
EC
Pekat Kuning
Dimeroat
Emulsi
Trips
Insektisida
Bayluscidae
EC
Pekat Coklat
Niklosamida
Emulsi
Pomacea sp
Moluskusida
Tokuthion
EC
Pekat Kuning
Protiofos
Emulsi
SE,SL, Croci
Insektisida
Cymbush
EC
Pekat Coklat
Sipermetrin
Emulsi
Serangga
Insektisida
Dicofan
EC
Coklat
Dicofol
Emulsi
Brevipalpus phoenicis
Inektisida
Metapal
WP
Bubuk putih
Metaldehida
Suspensi
Agroimax
Moluskasida
Dupont lannet
WP
Bubuk putih
Metomil
Suspensi
serangga
Insektisida
Curacron
EC
Pekat
Profenofos
Emulsi
serangga
Insektisida
Mipsin
WP
Tepung Putih
MIPC
Suspensi
Serangga Insektisida

Centrafur
GR
Butiran ungu
Karbofuran
Tabur
Nilaparvata lugens
Insektisida
Gramoxon
EC
Larutan hijau
Parakuat
diklorida
Emulsi
Rumput teki
Herbisida
Nama Dagang
Jenis Formulasi
Wujud fisik
Komposisi
Bentuk campuran
OPT sasaran
Jenis
Winder
WP
Tepung Coklat
Imidakklopit
Suspensi
Mizus persicae
Insektisida
Pegasusu
SC
Pekat putih
Diafentouron
Larutan dalam
Serangga
Insektisida
Difolatan
F
Cair
Tetrachioroethil
Emulsi
P. infestan
Fungisida
Roundup
AS
Cairan Coklat Terang
Isoprofilamina
Larutan air
Gulma
Herbisida
Demon
EC
Cairan Kuning coklat
Sipermetrin
Emulsi
Siput
Muliscisida
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh maka dapat dijelaskan bahwa Pengetahuan  pestisida secara keseluruhan akan memudahakan kita pada saat aplikasi di lapangan.Pengenalan pestisida mulai dari merek dagang, jenis formulasi, bahan aktif, kadar bahan aktif, sasaran dai penggunaan pestisida merupakan dasar yang harus dimiliki sebelum aplikasi. Pengenalan dengan Jenis formulasi akan memudahkan kita dengan bahan apa akan diencerkan saat aplikasi. Sasaran dari penggunann insektisida perlu diketahui untuk menghindari salah guna saat aplikasi. Kadar bahan aktif untuk mengetahui tingkat toksisitas dari pestisida tersebut terhadap OPT, dan untuk penanganan saat keracunan.

4.2  Pengujian Sintetik
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 2. Hasil pengamatan Pengujian Sintetik
Perlakuan
                                                     Hari                     
                              Jumlah Ekor
h1
h2
h3
h4
h5
M
H
M
H
M
H
M
H
M
H
K
0
5
0
5
1
4
1
4
2
3
A1
5
0
5
0
5
0
5
0
5
0
A2
3
2
3
2
3
2
3
2
5
0
Perlakuan
                                                     Hari                     
                              Jumlah Ekor
h1
h2
h3
h4
h5
M
H
M
H
M
H
M
H
M
H
A3
4
1
5
0
5
0
5
0
5
0
B1
2
3
5
0
5
0
5
0
5
0
B2
5
0
5
0
5
0
5
0
5
0
B3
1
4
5
0
5
0
5
0
5
0
Keterangan :
K    : Kontrol
A    : Penggunaan pestisida Sidametrin 50 EC 0,01 pada ulangan ke-
B    : Penggunaan pestisida Sidametrin 50 EC 0,04 pada ulangan ke-
h     : Hari ke-
M    : Mati
H    : Hidup
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh maka dapat dijelaskan bahwa Larva Crocidolomia pavonana masih mampu bertahan hidup hingga hari kelima jika pakannya tidak diberi pestisida sintetik. Hal ini membuktikan bahwa pemberian pestisida pada pakan dari suatu larva memberi pengaruh terhadap kelangsungan hidupnya. Pestisida merupakan racun bagi hama, baik sebagai racun kontak, perut, maupun pernapasan. 
Selain itu, penggunaan pestisida sintetik cair yang konsentrasi 0,04 lebih efektif daripada yang konsentrasi 0,01. Hal ini dikarenakan jumlah larva yang mati pada perlakuan B (Penggunaan pestisida Sidametrin 50 EC 0,04) lebih cepat yaitu pada hari kedua semua larva yang diberi perlakuan B sudah mati semua, sedangkan larva yang diberi perlakuan A (Penggunaan pestisida Sidametrin 50 EC 0,01) masih ada yang bertahan hingga hari keempat (ulangan kedua). Hal ini dikarenakan adanya perbedaan jumlah konsentrasi pestisida yang diberikan pada masing-msing perlakuan. Makin tinggi tingkat konsentrasi pestisida yang diberikan maka makin cepat larva atau organisme sasaran tersebut mati. Namun, jika terlalu banyak dan terus-menerus maka dapat menyebabkan organisme sasaran tersebut menjadi resisten. Larva pada perlakuan B2 mampu bertahan hidup selain disebabkan jumlah konsentrasi pestisida yang diberikan pada pakannya lebih sedikit, juga bisa disebabkan larva tersebut lebih resisten daripada larva-larva lainnya yang diturunkan oleh induknya sehingga mampu bertahan hidup.

4.3  Pengujian Nabati
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 3. Hasil pengamatan Pengujian Nabati
Perlakuan
                                                     Hari                     
                              Jumlah Ekor
h1
h2
h3
h4
h5
M
H
M
H
M
H
M
H
M
H
K1
0
10
0
10
2
8
7
3
8
2
K2
1
9
1
9
1
9
2
8
3
7
K3
0
10
1
9
1
9
8
2
8
2
A1
1
9
1
9
10
0
10
0
10
0
A2
0
10
1
9
10
0
10
0
10
0
A3
0
10
0
10
0
10
1
10
3
7
B1
0
10
0
10
0
10
5
5
6
4
B2
2
8
2
8
2
8
5
5
5
5
B3
1
9
1
9
10
0
10
0
10
0
Keterangan :
K    : Kontrol pada ulangan ke-
A    : Penggunaan ekstrak titonia 3% pada ulangan ke-
B    : Penggunaan ekstrak titonia 5% pada ulangan ke-
h     : Hari ke-
M    : Mati
H    : Hidup
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh maka dapat dijelaskan bahwa pemberian pestisida nabati (ekstrak daun titonia) memberi pengaruh terhadap larva Crocidolomia pavonana. Pada kontrol, jumlah larva yang mampu hidup mengalami penurunan yang cukup drastis ketika hari keempat. Pada perlakuan yang diberi ekstrak daun titonia 5% lebih banyak jumlah larva yang mati daripada perlakuan yang diberi ekstrak daun titonia 3%. Namun, masih ada beberapa larva yang bertahan hidup hingga hari kelima (pada A3, B1, dan B2). Hal ini dikarenakan jumlah konsentrasi pada perlakuan B lebih tinggi daripada perlakuan A sehingga memberi pengaruh yang cukup besar terhadap kelangsungan hidup larva-larva tersebut. Semakin tinggi konsentrasi pestisida nabati (ekstrak daun titonia) berarti semakin banyak senyawa kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dari seekor larva. Menurut Perez et al (1992), ternyata ekstrak tumbuhan titonia mengandung zat tagitinin A, tagitinin C, dan hispudin yang dapat sebagai feeding deterent dan dapat menekan perkembangan larva dari ordo lepidoptera dan coleoptera. Sedangkan larva-larva yang mampu bertahan hidup hingga hari kelima bisa dikarenakan mereka  lebih resisten daripada larva-larva yang telah mati.

4.4  Pengujian Mikroba
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 4. Hasil pengamatan Pengujian Mikroba
Perlakuan
h1
h2
h3
h4
h5
A
-
x
x
x
x
Perlakuan
h1
h2
h3
h4
h5
B
-
-
-
x
x
C
x
x
x
x
x
Keterangan :
A    : Penggunaan pestisida nabati
B    : Penggunaan aquades
C    : Penggunaan pestisida sintetik (fungisida)
h     : Hari ke-
-      : Penyakit yang disebabkan oleh jamur pada daun masih hidup
x     : Penyakit yang disebabkan oleh jamur pada daun telah mati
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh maka dapat dijelaskan bahwa penggunaan pestisida sintetik (fungisida) lebih efektif dalam menekan perkembangan jamur pathogen pada bagian tanaman dibandingkan penggunaan pestisida nabati ataupun hanya aquades saja. Hal ini bisa dilihat dari jamur pada daun rimbang yang diberi perlakuan fungisida lebih cepat mati. Sedangkan jamur pada daun yang diberi pestisida nabati bisa mati ketika hari kedua setelah diberi perlakuan dan yang diberi aquades bisa mati ketika hari keempat setelah perlakuan. Hal ini sesuai dengan sifat pestisida sintetik yang lebih cepat terlihat hasilnya dalam membunuh pertumbuhan suatu organisme sasaran sehingga penurunan organisme sasaran terlihat nyata dan waktunya singkat. Untuk perlakuan aquades, seharusnya jamur pada daun rimbang tersebut bisa terus hidup dan berkembang lebih lama lagi. Tetapi karena jumlah makanan bagi pathogen jamur tersebut tidak ada lagi makanya jamur tersebut mengalami kematian.

4.5  Teknik Aplikasi di Lapangan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 5. Hasil pengamatan Teknik Aplikasi di Lapangan
Tanaman
Penyakit
Hama


Jeruk Nipis
ü CVPD (Cytrus Vein Phloem  Degeneration)
ü Kutu daun (Myzus persica)
ü Jamur Embun Jelaga (Capnodium citri)
ü Bercak daun (Cercospora sp)


-
Pisang
ü Sigatoka (Mycosphaerella musicolla)
-
Mangga
-
ü Penggerek batang

Jagung
ü Bercak Coklat (Helminthosporium maydis)
ü Bercak Karat (Puccinia sp)
ü  Pantoya (

-

Cabe
ü Gemini virus
ü Lalat buah (Dacus dorsallis)
ü  Antraknose (Colletotrichum capsici)

-
Yang perlu diperhatikan :
1.        Kondisi lingkungan
2.        Alat yang akan digunakan untuk aplikasi harus sesuai
3.        Kostum yang dapat melindungi pengaplikasi dari bahaya pestisida
4.        Takaran yang tepat
Dari praktikum lapangan yang telah dilakukan maka dapat dijelaskan bahwa:
Penggunaan alat dan penyesuaian waktu dan kondisi lingkungan juga sangat mempengaruhi ke efektifan dari tindakan aplikasi pestisida dilapangan. Keselamatan juga menjadi faktor penting yang harus diperhatikan sehingga membutuhkan antisipasi dini misalnya dengan pemakaian masker ketika sedang aplikasi pestisida dan pemakaian baju aplikasi yang selalu bersih juga sarung tangan dan lain-lain.
a. Jeruk Nipis
ü  CVPD (Cytrus Vein Phloem  Degeneration)
Gejala yang terlihat ada dua yaitu tulang daun hijau dan tulang daun pucat. Virus ini merusak ploem didalam daun pada masa generasinya. Pengendalian terhadap vektor virus yaitu kutu daun, Karena pestisida yang bisa mengendalikan belum ada. Antara kutu dan semut akan bersimbiosis. Kutu bersifat hermaprodit. Biasanya kutu daun banyak diselimuti oleh semut.

ü  Kutu daun (Myzus persicae)
Mengisap cairan daun dan buah sehingga menimbulkan juga penyakit CVPD dan jamur embun jelaga karena sisa sekresi kutu mengandung gula, disukai oleh semut dan menyebabkan pertmbuhan bagi kapnodium di atas permukaan maupun di bawah permukaan daun.

ü  Jamur Embun Jelaga (Capnodium citri)
Penyebab penyakit pada tanaman tapi ia tidak parasit karena memiliki kapnodium sebagai patogen tapi tidak parasit. Keberadaannya hanya menutupi permukaan daun yang mengakibatkan fotosintesis pada daun terganggu sehingga proses fisiologis terganggu dan menyebabkan timbulnya penyakit. Permukaan daun maupun dibawah permukaan daun akan hitam dan tertutupi semua. Kutu daun sebagai vektor timbulnya embun jelaga. Sedangkan embun upas tumbuh di ranting berwarna putih seperti karpet Tindakan pengendalian penyakit jamur Capnodium citri dapat dilakukan dengan cara mengendalikan populasi hama kutu-kutu daun (aphis) dan penyemprotan detergen 5% sebanyak dua kali sebulan.

ü  Bercak daun (Cercospora sp)
Bercak daun didalam daun berwarna putih, didalam lingkaran coklat dan di tengah berwarna kuning muda. Ada halo atau zone pada permukaannya. Becak berwarna putih menandakan jaringan sudah mati total, berwarna coklat menandakan jaringan akan mati yang makin lama makin luas.

b. Pisang
ü  Sigatoka (Mycosphaerella musicola Mulder)
Penyakit Sigatoka mulai menyerang tanaman pisang sekitar umur 3 bulan setelah tanam yang makin lama makin meningkat intensitas serangan penyakit. Setelah jantung keluar seluruh daun dapat terserang penyakit. Factor iklim terutama curah hujan, embun, dan suhu berpengaruh terhadap produksi dan gerakan serta penyebaran inokulum penyakit.
Gejalanya mula-mula timbul bercak-bercak kecil pada daun pisang yang berwarna kuning pucat atau berupa garis-garis yang berwarna kuning kehijauan dengan panjang 1,0-10 mm dan lebar 0,5-1,0 mm sejajar dengan tulang-tulang daun. Bercak atau garis-garis ini makin lama makin membesar dan memanjang sehingga terbentuk bercak-bercak yang berbentuk bulat telur atau elip berwarna coklat, dan akhirnya seluruh permukaan dapat terinfeksi. Permukaan daun yang terinfeksi ini menjadi kering, berwarna coklat, dan akhirnya mati. Pusat bercak seringkali mongering dan berwarna abu-abu terang. Bercak-bercak ini pada tanaman pisang yang masih muda akan lebih lebar dan lebih membulat bentuknya dibandingkan bercak pada tanaman pisang yang lebih tua.
Pencegahan dan pengendalian penyakit ini dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut.
a.         Pemupukan yang tepat
b.        Sanitasi sumber infeksi dengan memotong dan membakar daun-daun mati/sakit.
c.         Perbaikan drainase, penyiangan gulma, mengurangi jumlah anakan yang ada, dan jarak tanam yang tepat.
d.        Mencegah dan melarang mobilisasi buah dan bahan tanaman dari tempat atau daerah yang terinfestasi penyakit Sigatoka ke daerah lain yang masih bebas.
e.         Menanam kultivar pisang yang tahan Sigatoka.
f.         Menggunakan fungisida sistemik.

c. Mangga
ü  Penggerek batang
Batang bolong sehingga merusak jaringan yang terdapat di batang dan transportasi penyerapan air tidak berjalan lancar. Pengendalian dengan mengikis batang dan diolesi dengan bubur bordo.

d. Jagung
ü  Bercak Coklat (Helminthosporium maydis)
Gejala yaitu pada awal infeksi gejala berupa bercak kecil, berbentuk oval kemudian bercak semakin memanjang berbentuk ellips dan berkembang menjadi nekrotik dan disebut hawar, warnanya hijau keabu-abuan atau coklat. Panjang hawar 2,5-15 cm, bercak muncul awal pada daun yang terbawah kemudian berkembang menuju daun atas. Infeksi berat dapat mengakibatkan tanaman cepat mati atau mengering dan cendawan ini tidakmenginfeksi tongkol atau klobot. Cendawan ini dapat bertahan hidup dalam bentuk miselium dorman pada daun atau pada sisa sisa tanaman di lapang.
Pengendalian dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.
a.         Menanam varietas tahan Bisma, Pioner2, pioner 14, Semar 2 dan 5.
b.        Eradikasi tanaman yang terinfeksi bercak daun.
c.         Penggunaan fungisida dengan bahan aktif mankozeb dan dithiocarbamate.


ü  Karat (Puccinia sp)
Gejala dari daun jagung yang terserang penyakit karat, akan muncul pustul (bercak yang timbul) kecil-kecil, warnanya terang, kemerah-merah atau coklat keemasan. Pustul ini nampak pada kedua permukaan daun, baik pada bagian atas maupun bawah daun. Warna pustul yang terang akan berubah menjadi coklat kehitaman, dengan bertambahnya umur dari jagung tersebut (fase generatif). Penyakit karat dapat terjadi di dataran rendah sampai tinggi dan infeksinya berkembang baik pada musim penghujan atau musim kemarau.
Pengendalian dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.
a.         Menanam varietas tahan Lamuru, Sukmaraga, Palakka, Bima 1 dan Semar 10.
b.        Mengatur kelembaban.
c.         Eradikasi tanaman yang terinfeksi karat daun dan gulma.
d.        Sanitasi kebun.
Penggunaan fungisida dengan bahan aktif benomil

ü  Layu Stewart (Pantoea stewartii)
Daun berwarna hijau  pucat  kentara.

e. Cabe
ü  Gemini virus
ü  Lalat buah (Dacus ferrugineus Coquillet atau Dacus Dorsalis Hend)
Gejala :
Lalat ini menusuk pangkal buah cabe yang terlihat ada bintik hitam kecil bekas tusukan lalat buah untuk memasukkan telur. Buah yang terserang akan menjadi bercak-bercak bulat, kemudian membusuk, dan berlobang. Setelah telur menetas jadi larva (belatung) dan hidup di dalam buah sampai buah rontok dan membusuk larva akan keluar ke tanah dan seminggu kemudian berubah menjadi lalat muda.
Pengendalian :
a.         Lakukan pergiliran tanaman untuk memutus rantai perkembangan lalat.
b.        Kumpulkan semua buah cabai yang terserang dan musnahkan.
c.         Kendalikan dengan perangkap metil eugenol yang sangat efektif dengan cara memasukkan metil eugenol dalam kapas ke botol bekas air mineral yang telah diolesi minyak goreng, atau diberi air. Gantungkan perangkap dipingir kebun.
Pengendalian secara kimia dapat dilakukan dengan penyemprotan Buldok, Lannate, Tamaron, Curacron 500 EC.

ü  Antraknose (Colletotrichum capsici)
Penyakit ini adalah penyakit yang sangat menakutkan bagi pekebun. Serangan cendawan ini tidak terbatas pada saat buah masih tergantung, tetapi juga tetap mengancam setelah usai panen. Serangan dimulai dari munculnya bercak kuning yang berubah menjadi cokelat kehitaman. Buah menjadi lunak dan membusuk. Buah mengering dan keriput. Penyakit ini juga menyerang buah yang masih hijau dan menyebabkan mati ujung. Pada kondisi lembab cendawan membentuk badan buah dalam lingkaran-lingkaran berwarna merah jambu. Daun mengering melepuh kebawah dan tetap melekat pada tangkai gejala ini disebut mumipikasi.
Pengendalian dengan cara benih yang akan disemai direndam dulu dengan air hangat yang dicampur fungisida berbahan aktif tofanat, tebukanazol, Thiram atau benomil selama 4 jam. Atur jarak tanam untuk musim kemarau lebih rapat ( 50 cm x 70 cm ), musim penghujan lebih lebar ( 60 cm x 70 cm ). Semua cabai yang terserang dipanen setiap hari kemudian dimusnahkan.

4.6  Pengenalan Alat Aplikasi
Alat-alat yang diperkenalkan antara lain :
1.        Hand sprayer : hand spayer merupakan alat aplikasi pestisida yang paling kecil dan sederhana, yang merupakan alat semprot.Kapasitas tangki maksimal 5 liter. Dengan ukuran yang kecil sehingga memudahkan pada saat aplikasi dilapangan. Penyemprotan pada bagian tanaman yang terserang hama dan penyakit, tetapi tidak efektif untuk lahan yang luas.
2.        Sprayer Manual : Merupkan jemis alat aplikasi yang paling banyak digunakan oleh petani. Tekanan yang dihasilkan berasal dari tenaga manusia dengan cara menggerakkan handel pompa. Jenis dari alat ini terdiri dari sprayer manual yaitu knap sack sprayer bertekanan undara.
3.        Sprayer mesin : Alat aplikasi ini menggunakan mesin untuk menggerakakn pompa sebagai pengganti  tenaga manusia.
Fungsi utama semua jenis alat pengendalian adalah untuk membantu mengendalikan suatu organisme pengganggu tanaman sasaran sehingga diperoleh hasil yang efektif dan efisien hingga di bawah batas nilai ambang ekonomi, tanpa menimbulkan dampak yang merugikan seperti : terjadinya resistensi, resurgensi, keracunan tanaman pokok, dan pencemaran lingkungan. Berbagai jenis dan tipe alat pengendalian yang digunakan saat ini sebagian besar adalah alat pengendalian untuk mengaplikasikan pestisida, dan beberapa alat yang digunakan untuk pengendalian secara fisik/mekanik.
Alat pengendalian untuk aplikasi pestisida bertujuan untuk menghasilkan butiran-butiran cairan atau percikan-percikan (droplet) yang berasal dari cairan yang ditempatkan di dalam salah satu bagian dari alat tersebut. Cairan yang disemprotkan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi. Alat aplikasi pestisida yang efisien dapat menjamin penyebaran bahan yang rata pada sasaran tanpa pemborosan. Selain itu pekerjaan dapat dilakukan dengan cepat dan dengan jumlah tenaga kerja            minimal.
          Saat ini tersedia berbagai macam jenis alat aplikasi pestisida baik tipe maupun mereknya. Tergantung pada konstruksinya, alat semprot dapat menghasilkan butiran halus dengan diameter 100 – 200 mikron, atau butiran sedang dengan diameter 250 – 400 mikron, dan butiran besar dengan diameter lebih dari 400 mikron. Sebagai sumber tenaga dapat berupa tenaga manusia, atau mesin. Alat semprot yang memerlukan tenaga manusia tergolong dalam alat semprot manual, sedang alat semprot mesin disebut alat semprot bermotor. Untuk dapat memilih jenis alat yang efisien, serta menggunakannya dengan baik, maka setiap pemakai alat aplikasi pestisida perlu mengetahui macam serta fungsi semua komponen yang terdapat pada berbagai macam tipe alat tersebut. Pengetahuan tentang alat aplikasi pestisida akan sangat bermanfaat pula dalam usaha pemeliharaan dan mengatasi kerusakan-kerusakan alat aplikasi tersebut.
Keberhasilan penggunaan pestisida sangat ditentukan oleh teknik aplikasi yang tepat, yang menjamin pestisida tersebut mencapai organisme sasaran dimaksud, selain juga oleh faktor jenis, dosis dan saa aplikasi yang tepat.Dengan kata lain tidak ada pestisida yang dapat berfungsi dengan baikkecuali bila diaplikasikan dengan tepat. Aplikasi pestisida yang tepat dapat didefinisikan sebagai aplikasi pestisida yang semaksimal mungkin terhadap sasaran yang ditentukan, pada saatyang tepat, dengan liputan hasil semprotan yang merata dari jumlahpestisida yang telah ditentukan sesuai dengan anjuran (dosis).


V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa pestisida sintetik lebih efektif dalam membunuh, mengurangi, dan menghambat OPT di lapangan daripada penggunaan pestisida nabati.

5.2 Saran
Kepada praktikan selanjutnya disarankan lebih banyak berdiskusi dengan asisten tentang cara aplikasi yang baik dan benar serta dalam melakukan praktikum sebaiknya dilakukan dengan serius dan teliti.



DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Holtikultura, 1993. Kubis. Badan Penelitian Pengembangan. Lembang.

Bastos, C. N., Silva, D. H. M. M., Guimaraes, E. F., Andrade, E. H. A., Maia, J. G. S. 2003. Atividade Bactericida. E Composicao De Oleos Essenciais De Piper Soe. Documentos, IAC, Campinas.

Cahyono, B. 2002. Cara Meningkatkan Budidaya Kubis : Analisis Kelayakan Secara Intensif Jenis Kubis Putih. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.10 hal.

Dadang. 1999. Sumber Insektisida Alami. Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami. Pusat Kajian PHT. IPB. Hal 8-20.

Direktorat Bina Perlindungan Tanaman. 1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan secara Terpadu pada Tanaman Kubis. Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Jakarta.

Estela, V. L. J. Fazolin, M. Catani, M. Alecio, R. M., Lima, S. M. 2006. Toxicidade De Oleos Essenciais De Piper aduncum Piper hispidinervumem Sitophilus zeamais. Agropec. Bras. Brasilia.

Hakim, N. 2001. Kemungkinan Penggunaan Tithonia (Tithonia diversifolia) Sebagai Bahan Organik dan Nitrogen. Laporan P3IN. Universitas Andalas. Padang. 8 hal.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan Indonesia.

Intan Pratidina. 2008. Pemisahan dan Pencirian Senyawa Aktif Daun Kepayang dan Pengaruhnya Pada Uat Kubis Instar III [skripsi]. IPB. Bogor. 16 hal.

Jama, B.A., C. A. Palm, R.J. Buresh, A.I. Niang, C. Gachego, Nziquheba and B. Amadado. 2000. Tithonia diversifolia as A Green Manure for Improvement of Soal Fertility in Western Kenya. A. Review. Agroforestry System.

Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. 69 hal.

Khalsoven, L.G.E. 1981. The pest of crop in Indonesia. Revised and Translated by Vendeer Loan. P.T. Ichtiar Baru-Vanhoove. Jakarta. 701 hal.

Lahmuddin Lubis. 2004. Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Kubis (Brassica Oleracca) Dan Kentang (Solanum Tuberosum). USU. Medan. 5 hal.

Lubis, A.H. 1982. Biologi Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera : Pyralidae) pada Tanaman Kubis dan Lobak. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Manjang, Yunazar. 2002. Penelitian Kimia Organik Bahan Alam, Pelestarian, Pengembangan Melalui Taman Agrowisata. Dalam workshop Peningkatan Sumber Daya Manusia Kajian Kimia Organik Bahan Alam Hayati dan Pelestarian Hutan. Padang 21-27 Juli 2002. 48 hal.

Mooryati, S. 1998. Alam Sumber Kesehatan. Balai Pustaka. Jakarta. 347-349 hal.

Orjala, J. C. A. J. Erdelmeier, A. D. Wright, and O. Sticher. 1993. Two Chronmones and A Prenylated Benzoic Acid Derivate From Piper aduncum Phytoalexin.

Othman, N. 1982. Biology of Crocidolomia binotalis and its Parasites from cipanas Area, West java ( A report of Training course Research). Bogor. 52 hal.

Perez, A. H., M. O. Lara and R. D. V. Alfonso. 1992. Sesqueterpencids and diterpenoid from Tithonia longaradiata Inst. Quin. University Nae, Autum Mexico, Coyoacam, Max. Phytochemestry. 32 (12): 4227-4231 hal.

Pracaya, 1989. Kol analisis Kubis. Penebar Swadaya. Jakarta.

Prijono, Djoko. 1999. Prospek dan Strategi Pemanfaatan Insektisida Alami dalam PHT. Dalam Bahan Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami. PKPHT, IPB. Bogor 9-13 Agustus 1999. 86 hal.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan.2010.Peran Pestisida Nabati.Jurnal

Putut. 2007. Bercak Cercospora Kacang Panjang. Diacsess 02 Desember 2011.

            http://penyakitutama.blogspot.com/2007/09/penyakit-kacang-panjang-4.html.

 

Rejesus, M. B., H. A. Maini, V. R. Ocampo, F. M. Dayrit and E. G. Quintana. 1993. Insecticidal Actions of Several Philippine Plants With Emphasis on Vitex Negundo L. The Philippine Agriculturist 76. (4) pp. 355-371 hal.

Rizal,V. dan Tahjadi. 2001. Alternatif Pengendalian Hama. PAN Indonesia. Jakarta. 63 hal.

Rukmana, R. 1994. Bertanam Kubis. Kanisisus. Yogyakarta.

Sarjan, M. 2004. Pengelolaan Hama Terpadu Dalam Perspektif Sistem Pertanian Berkelanjutan Di Era Galobalisasi. Orasi Ilmiah Dies Natalis UNRAM. Fakultas Pertanian Universitas Mataram. 37 hal.

Sudarmo, S. 1992. Pestisida dan Hama Tanaman. Kanisius, Jakarta.

Sujatmaka. 1991. Prospek Pasar dan Budidaya Jarak. Penebar Swadaya. Anggota IKAPI. Jakarta. 35 hal.

Suyanto, A. 1994. Hama Sayur dan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.

Syamsu, H. dan J. R. Hutapea. 1991. Inventarisasi Tanaman Obat Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Badan Litbang Kesehatan. Jakarta.

Wagner, W. L., Herbst and S. H. Sohmer. 1999. Manual of Flowing Plants of Hawai. 1 hal.

Wikipedia.2011. Pestisida.http//pestisida.co.id (diakses 1 Desember 2011)