Selasa, 27 Maret 2012
Dampak Positif dan Negatif dari Intensifikasi Pertanian
Revolusi hijau terdiri dari intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.
Intensifikasi pertanian adalah usaha untuk memperbaiki sistem produksi secara intensif agar memperoleh hasil yang optimal. Intensifikasi dilakukan melalui Panca Usaha Tani, yaitu:
1. Teknik pengolahan lahan pertanian
2. Pengaturan irigasi
3. Pemupukan
4. Pemberantasan hama
5. Penggunaan bibit unggul
Kegiatan intensifikasi pertanian ini menimbulkan dampak positif dan negatif terhadap produksi dan ekologi di Indonesia. Dampak positif intensifikasi ini, yang merupakan bagian dari Revolusi Hijau, adalah : produksi padi dan gandum meningkat sehingga pemenuhan pangan (karbohidrat) meningkat. Sebagai contoh Indonesia dari pengimpor beras mampu swasembada. Revolusi Hijau (pengembangan lebih banyak pada intensifikasi) di Indonesia telah menyelamatkan 50% jumlah penduduk dari bahaya kelaparan kronis yang dapat berakibat kematian. Apabila Revolusi Hijau tidak dilakukan, Indonesia harus mengimpor beras sebanyak 14 juta ton dari pasar dunia, yang kemungkinan tidak cukup tersedia, atau tidak tersedia devisanya. Dengan tingkat swasembada beras 56% (seandainya tidak ada penerapan Revolusi Hijau), dapat diperkirakan harga beras akan sangat mahal seperti halnya pada tahun 1950-1965, yang akan berakibat pada bahaya kelaparan dan kematian.
Sedangkan dampak negatif dari intensifikasi pertanian (Revolusi Hijau) adalah :
1. Dampak pengolahan tanah
Seringkali terlihat para petani mengolah tanah dengan cara membajak sawah, sawah dialiri air hingga tergenang, dan terkadang kelebihan air dialirkan ke got dan akhirnya masuk ke sungai. Jadi, di sawah terjadi pencucian unsur hara yang selanjutnya dibuang ke sungai sehingga menyebabkan kesuburan tanah menjadi semakin berkurang.
Keberhasilan meningkatkan hasil panen padi dengan teknologi baru membuat petani cenderung menanam padi lebih sering dalam pola pertanamannya dengan menggantikan tanaman lain yang biasanya tanaman pangan legum. Akibatnya proses penyuburan tanah melambat disamping pengaruhnya menurunkan nilai gizi penduduk berkenaan dengan penurunan bekalan protein.
2. Dampak pemupukan
Pemupukan dilakukan untuk memberikan zat makanan yang optimal kepada tanaman agar tanman dengan memberikan hasil yang cukup. Pemupukan dan pupuk buatan dapat menyebabkan tanah menjadi masam.
3. Dampak pestisida
4. Dampak pengaturan irigasi
5. Dampak penggunaan bibit unggul
Penyakit Kudis (Streptomyces ipomoeae)
Gambar :
Penyakit kudis pada ubi jalar (Ipomoea batatas) disebabkan oleh Streptomyces ipomoeae. Penyakit ini disebut juga dengan cacar atau busuk akar kecil. Patogen ini menyerang bagian bawah tanaman termasuk akar, umbi, dan pangkal batang. Penyakit ini dapat mulai menyerang pada setiap tahap pertumbuhan tanaman, ketika kondisi sesuai dan cocok untuk perkembangan pathogen ini (terutama cuaca kering). . S. ipomoeae juga menginfeksi anggota lain dari keluarga tumbuhan Convolvulaceae.
Infeksi pada sistem
akar fibrosa sering disebut sebagai "busuk akar kecil". tanaman yang
terkena menjadi kerdil, daun lebih kecil dan pucat.
Streptomyces ipomoeae termasuk
pathogen tular
tanah, bersifat aerobik, sangat oksidatif, gram positif , membentuk rantai 3-10 spora oval (miselium), 0,8 -0,9 x
0,9-1,8 μm, dengan dinding halus. Spiral adalah radius sekitar 3-5 μm yang
mungkin tidak lengkap, memberikan kait dan loop, atau 1-2 bergantian.
Dalam media kultur, koloni memiliki sporulasi hijau
kebiruan, tetapi tidak memiliki bau khas genus Streptomyces lainnya.
Biologi dan ekologi
Patogen tular tanah ini dan penyebarannya terjadi melalui
pergerakan air, manusia dan binatang, alat-alat yang terinfeksi, bahan tanam
yang terinfeksi, dan kotoran sapi. Bakteri tetap aktif sampai inang ada dan
kondisi yang tepat untuk infeksi. Jika bakteri ini telah ada di dalam tanah
maka susah untuk menghilangkan atau memusnahkan pathogen ini.
Penyakit ini berkembang ketika cuaca kering, pH tanah di atas
5.2 dan suhu hangat.
Host kisaran
Inangnya berupa Ipomoea
batatas (ubi jalar) dan dapat menginfeksi spesies lain dari family Convolvulaceae.
Pengendalian yang dapat dilakukan
1. Menanam
tanaman tahan seperti Beauregard dan Jasper, menunjukkan tingginya tingkat
perlawanan sementara beberapa kultivar seperti Jewel dan Centennial, sangat
rentan.
2. Kultur
teknis yang baik.
3. Rotasi
tanaman yang bukan tanaman yang sama penyakitnya dengan ubi jalar.
4. Hindari
kekeringan tanah dengan pengaturan irigasi yang tepat waktu.
5. Hati-hati
pemilihan bahan tanam.
6. Hindari
pengantar dari lahan yang terinfeksi ke lahan yang belum terinfeksi, dengan
membatasi pergerakan peralatan, hewan, pupuk atau bahan tanam.
7. Penggunaan
fumigasi tanah dengan chloropicrin.
Teknik Pembuatan Herbarium dan Awetan Basah
Pembuatan awetan
spesimen diperlukan untuk tujuan pengamatan spesimen secara praktis tanpa harus
mencari bahan segar yang baru. Terutama untuk spesimen-spesimen yang sulit di
temukan di alam. Awetan spesimen dapat berupa awetan basah atau kering. untuk
awetan kering, tanaman diawetkan dalam bentuk herbarium, sedangkan untuk
mengawetkan hewan dengan sebelumnya mengeluarkan organ-organ dalamnya. awetan
basah, baik untuk hewan maupun tumbuhan biasanya dibuat dengan merendam seluruh
spesimen dalam larutan formalin 4%.
Awetan yang telah
dibuat kemudian dimasukkan dalam daftar inventaris koleksi. pencatatan
dilakukan kedalam field book/collector book. sedangkan pada herbarium
keterangan tentang tumbuhan dicantumkan dalam etiket. dalam herbarium ada dua
macam etiket, yaitu etiket gantung yang berisi tentang; nomer koleksi, inisial
nama kolektor, tanggal pengambilan spesimen dan daeran tingkat II tempat
pengambilan (untuk bagian depan) dan nama ilmian spesimen (untuk bagian
belakang).
Pada etiket tempel
yang harus dicantumkan antara lain; kop( kepala surat) sebagipengenal
indentitas kolektor/lembaga yang menaungi, (No)nomer koleksi,(dd)tanggal ambil,
familia, genus, spesies, Nom. Indig(nama lokal), (dd) tanggal menempel,
(determinasi)nama orang yang mengidentifikasi spesimen itu, (insula) pulau
tempat mengambil, (m. alt) ketinggian tempat pengambilan dari permukaan air
laut, (loc) kabupaten tempat pengambilan, dan (annotatione) deskripsi spesimen
tersebut.
Alat dan Bahan :
a. Herbarium
1. Karton/duplek 2. Kertas koran 3. Sasak dari bambu/tripleks 4. Sampel tanaman
5. Alat tulis
1. Karton/duplek 2. Kertas koran 3. Sasak dari bambu/tripleks 4. Sampel tanaman
5. Alat tulis
b. Awetan basah
1.
Botol jam 2. Sampel specimen 3. Formalin
4. Akuades 5. Gelas ukur 6. Kertas
label
Cara Kerja :
Cara Kerja :
a. Membuat Herbarium
1. Ambil salah satu tanaman/ bagian dari tanaman
2.
Cara 1 : masukkan tanaman itu pada sasak
bambu yang telah dibuat dan keringkan tanaman dengan penjemuran terhadap cahaya
matahari.
Cara2 : atur posisi tanaman pada lembaran koran hingga rata.lapisi lagi dengan beberapa lembar koran, tangkup dengan tripleks pada kedua sisinya lalu ikat dengan kencangsehingga tanaman ter-press dengan kuat. ganti koran dengan yang kering setiap kali koran pembungkus tanaman basah. lakukan berulang-ulang hingga tanaman benar-benar kering.
3. Tanaman dikatakan kering jika sudah cukup kaku dan tidak terasa dingin.
4. Tanaman yang akan dibuat herbarium, sebaiknya memiliki bagian-bagian yang lengkap. jika bunga nya mudah gugur maka masukkan bunga tersebut dalam amplop dan selipkan pada herbarium . daun atua bagian tanaman yang terlalu panjang bisa dilipat.
5. Tempelkan tanamanyang telah dikeringkan pada karton dengan menggunakan jahitan tali/ selotip. usahan kenampakan atas dan kenampakan bawah daun diperlihatkan.
6. Lengkapi keterangan yang terdapat pada collector book
7. Pasang etikenya.
Cara2 : atur posisi tanaman pada lembaran koran hingga rata.lapisi lagi dengan beberapa lembar koran, tangkup dengan tripleks pada kedua sisinya lalu ikat dengan kencangsehingga tanaman ter-press dengan kuat. ganti koran dengan yang kering setiap kali koran pembungkus tanaman basah. lakukan berulang-ulang hingga tanaman benar-benar kering.
3. Tanaman dikatakan kering jika sudah cukup kaku dan tidak terasa dingin.
4. Tanaman yang akan dibuat herbarium, sebaiknya memiliki bagian-bagian yang lengkap. jika bunga nya mudah gugur maka masukkan bunga tersebut dalam amplop dan selipkan pada herbarium . daun atua bagian tanaman yang terlalu panjang bisa dilipat.
5. Tempelkan tanamanyang telah dikeringkan pada karton dengan menggunakan jahitan tali/ selotip. usahan kenampakan atas dan kenampakan bawah daun diperlihatkan.
6. Lengkapi keterangan yang terdapat pada collector book
7. Pasang etikenya.
b. Membuat Awetan
Basah
1. Siapkan spesimen yang akan diawetkan
2. Sediakan formalin yang telah diencerkan sesuai dengan keinginan.
3. Masukkan spesimen pada larutan formalin yang telah ada dalam botol jam dan telah diencerkan.
4, Tutup rapat botol dan kemudian diberi label yang berisi nama spesimen tersebut dan familinya.
1. Siapkan spesimen yang akan diawetkan
2. Sediakan formalin yang telah diencerkan sesuai dengan keinginan.
3. Masukkan spesimen pada larutan formalin yang telah ada dalam botol jam dan telah diencerkan.
4, Tutup rapat botol dan kemudian diberi label yang berisi nama spesimen tersebut dan familinya.
Sumber :
Minggu, 25 Maret 2012
Laporan PTA
LAPORAN AKHIR PRAKTIKUM
PESTISIDA DAN TEKNIK APLIKASI
OLEH :
NAMA :
MONITA PUSPITASARI
BP :
0810211020
KELOMPOK :
1
ASISTEN :
FEDRIK MENDYSA AGUSTA
AMALYA ROSYA
PROGRAM
STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
ANDALAS
PADANG
2011
I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Proteksi dan perlindungan tanaman merupakan satu faktor teknis
budidaya yang akhir-akhir ini menjadi perhatian para petani. Proteksi dan
perlindungan tanaman yang dimaksud adalah melindungi tanaman dari serangan hama
dan penyakit. Cara yang digunakan oleh para petani untuk menanggulangi hama dan
penyakit tersebut adalah dengan penggunaan insektisida. Insektisida adalah zat
kimia sintesis yang digunakan untuk membunuh atau mengendalikan hama dan
penyakit yang disebabkan oleh serangga yang menyerang tanaman (Cahyono, 2002).
Pengendalian hama penyakit tanaman merupakan salah satu faktor yang
menentukan keberhasilan usaha tani. Pernah ada anggapan bahwa pengendalian hama
yang paling efektif adalah dengan penyemprotan pestisida. Namun setelah terasa
ada dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia yang secara tidak bijaksana
maka para ahli hamapun tidak lagi berkampanye untuk membesar-besarkan
penggunaan racun pestisida. Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk
mengatasi masalah tersebut yaitu dengan penggunaan pestisida nabati. Pestisida
sintetik telah menyebabkan hama kebal terhadap pestisida, selain itu dosis
penyemprotan yang berlebihan, dan pe-nyemprotan pestisida yang dilakukan secara
berulang-ulang menimbulkan pencemaran lingkungan. Salah satu alternatif yang
dapat dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan
pestisida nabati. Pestisida nabati memiliki keunggulan berupa harga yang
relatif murah, dan dapat mengurangi pencemaran lingkungan (Sudarmo, 2005 cit Intan, 2008).
Beberapa
jenis pestisida nabati yang biasa digunakan adalah yang bahan dasarnya tumbuhan seperti daun dan biji mimba, daun dan biji mindi, lombok,
bawang putih, umbi gadung, biji sirsak, akar, batang dan daun tembakau, daun
pepaya, daun gamal, ranting dan kulit pacar cina, daun sirih hutan, biji jarak,
bunga piretrum, ataupun akar tuba. Thitonia diversifolia (Kipait), Ricinus communis Linn (Jarak), Piper
betel Linn
(Sirih hutan) merupakan bahan yang akan dijadikan pestisida nabati karena mudah
didapat dan sudah terdaftar sebagai pestisida nabati yang termanfaatkan dan
diharapkan apabila diaplikasikan di lapangan tidak mengganggu organisme bukan sasaran.
Berdasarkan kejadian tersebut, maka dalam
pengendalian hama dan penyakit diperlukan dua pengetahuan dasar, yaitu
teknologi dan biologi. Pengetahuan teknologi yang diperlukan meliputi alternatif
teknologi paling tepat untuk digunakan dalam menekan populasi atau
pengaruh hama.
Alternatif teknologi ini diantaranya termasuk
teknologi penggunaan pestisida, teknologi pemanfaatan bahan-bahan alami
(biologi), teknologi kultur teknis(budidaya), fisik, mekanik, rekayasa genetik,
alat-alat pengendalian, dan lain-lain. Pengetahuan biologi diperlukan antara
lain untuk menentukan dimana, kapan, dan bagaimana teknologi itu harus
digunakan. Pengetahuan biologi yang dibutuhkan tidak haya mencakup biologi dari
hama itu sendiri tetapi juga biologi dari tanaman dan musuh alami hama.
Pengetahuan biologi yang diperlukan antara lain :
(1) biologi spesies hama (jenis dan sifat hama, fenologi hama, kepadatan
populasi, potensi merusak, dll), (2) kisaran inang (monofag, oligofag, dan
poligofag), (3) biologi tanaman (jenis tanaman dan tingkat ketahanan tanaman),
dan (4) biologi musuh alami (jenis dan sifat musuh alami, fenologi musuh alami,
tingkat parasitasi/patogenisitas). Agar pengendalian yang dilakukan dapat
memberikan hasil yang memuaskan, maka Rizal (2001) mengemukakan empat
persyaratan berikut : (1) pengendalian hama harus selektif terhadap hama yang
dikendalikan, (2) bersifat komprehensif dengan sistem produksi, (3) kompatibel dengan
prinsip-prinsip ekologi, dan (4) bersifat toleran terhadap spesies yang
potensial dapat merusak tanaman tetapi masih dalam batas-batas yang secara
ekonomis dapat diterima.
Mengacu pada persyaratan tersebut, maka oleh para
ahli perlindungan tanaman pengertian Pengendalian Hama kemudian dipertajam menjadi
Konsepsi Pengelolaan Hama dengan memasukan komponen lingkungan serta eksplisit,
yaitu bahwa Pengendalian Hama atau Pengelolaan
Hama yaitu pendekatan yang
komprehensif dalam pengendalian hama dengan menggunakan kombinasi berbagai cara untuk menurunkan status hama
sampai tingkatan yang dapat
ditoleransikan sementara qualitas lingkungan dapat tetap terjaga dengan baik.
Pengertian ini hampir sama dengan Pengertian Pengenalian Hama
Terpadu, diantaranya yaitu : (1) Menurut Sarjan
(2004), PHT adalah sebagai strategi penanganan secara bersama terhadap hama
dengan cara memaksimumkan efektivitas faktor-faktor pengendalian biologis dan
budidaya tanaman, penerapan pengendalian kimiawi hanya dilakukan apabila
diperlukan, dan meminimumkan
kerusakan-kerusakan lingkungan. Dalam penerapannya, PHT memerlukan
pengitegrasian berbagai taktik pengendalian ke dalam strategi pengelolaan
secara konprehensifdengan pertimbangan ekonomis dan ekologis.
Menurut Lahmuddin (2004), PHT memadukan
berbagai metode pengelolaan tanaman budidaya dalam perpaduan yang paling
efektif dalam mencapai stabilitas produksi, dengan seminimal mungkin bagi
manusia dan lingkungan. PHT adalah strategi pengendalian hama berdasarkan
potensi ekologi yang menitik beratkan pada pemanfaatan faktor-faktor
pengendali alami, seperti musuh alami dan cuaca, serta mencari taktik pengendalian
yang seminimal mungkin menyebabkan bekerjanya faktor-faktor pengendali alami tersebut.
Penggunaan pestisida hanya dilakukan setelah pelaksanaan pengamatan populasi
hama dan pengendali alami secara sitematik.
PHT tidak anti terhadap pestisida, tetapi
bagaimana menggabungkan penggunaan pestisida dengan metoda pengendalian lain.
1.2 Tujuan
Praktikum
Pratikum pestisida dan teknik aplikasi bertujuan
untuk mengetahui pestisida secara keseluruhan, sehingga dapat diaplikasikan
sesuai dengan ketentuan penggunaan dengan berbagai alat aplikasi dengan
mengedepankan kelestarian lingkungan pertanian yang berkesinambungan.
II. TINJAUAN
PUSTAKA
2.1
Pestisida Sintetik secara Umum
Salah satu tantangan
terbesar yag dihadapi dunia saat ini adalah masalah produksi bahan pangan yang
tidak cukup untuk mengimbagi pertumbuhan populasi penduduk dunia yang sangat
cepat. Menurut Biro Statistik Amerika Serikat diketahui bahwa usaha peningkatan
produks pangan menjadi masalah yang mendesak untuk ditangani. Oleh sebab itu,
salah satu solusi yang ditawarkan adalah penggunaan pestisida yang dapat
meminimalkan kehilangan hasil akibat serangan organism pengganggu tanaman (OPT)
(Kardinan, 2002).
Pengertian pestisida
sebenarnya luas sekali karena meliputi produk-produk yang digunakan dibidang
pertanian, kehutanan, perkebunan, perikanan, dan kesehatan masyarakat. Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 7/1973, pestisida adalah semua zat kimia atau bahan
lainnya serta jasad renik dan virus yang digunakan: 1) mengendalikan atau
mencegah hama dan penyakit yang merusak tanaman, bagian tanaman dan hasil-hasil
pertanian, 2) mengendalikan rerumputan, 3) mengendalikan atau mencegah
hama-hama luar pada hewan-hewan peliharaan, 4) mengendalikan hama-hama air, 5)
mengendalikan binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia
dan binatang yang perlu dilindungi dengan penggunaan tanaman, tanah dan air
(Djojosumarto, 2000).
Penggunaan pestisida
dalam pertanian telah menunjukkan kemampuan dalam menanggulangi merosotnya
hasil akibat serangan hama dan penyakit. sejarah telah menunjukkan bahwa dengan
adanya pestisida, Negara yang nyaris akan kelaparan karena letusan hama dapat
terhindar. Meningkatnya pemakaian pestisida dimulai semenjak pelaksanaan Bimas
Gotong Royong yang selanjutnya kemudahan-kemudahan yang ada pada Bimas yang
disempurnakan mendorong petani untuk menggunakan insektisida sebagai
satu-satunya untuk perlindungan tanaman (Wikipedia, 2011).
2.2
Tanaman Kubis
Kubis (
Brassica oleracea L.) merupakan salah satu sayuran yang berasal dari daerah
subtropis yang telah lama dikenal dan dibudidayakan oleh Indonesia. Produksi
kubis dinegara kita selain memenuhi kebutuhan dalam negeri, juga merupakan
komoditas ekspor yang cukup menjanjikan
dan perlu peningkatan produksinya (Pracaya,1989).
Di Indonesia, tanaman kubis umumnya diusahakan
secara intensif di daerah dataran tinggi (Balai Penelitian Holtikultura, 1993).
Dalam usaha peningkatan produksi tanaman kubis, serangan hama dan patogen
merupakan kendala utama selama ini. Sampai saat ini telah banyak ditemukan
hama-hama yang menyerang tanaman kubis, diantaranya ada tiga hama utama yaitu :
Plutella xylostella, Spodoptera litura
Fabricius. Hama yang lain ditemukan adalah Agrotis
ipsilon, Liriomyza huidobrensis, Trichoplusia ni, Myzus persicae, Gryllotalpa
hirsute, Brachytrypes poetentosus, Gryllus mitratus (Pracaya, 1986).
Sampai saat ini, untuk pengendalian hama dan
penyakit pada pertanaman kubis masih digunakan pestisida sintetik. Penggunaan
pestisida sintetik yang tidak bujaksana dapat menimbulkan dampak negative
seperti terjadinya resisteni hama terrhadap insektisida, resurgensi, peledakan
hama sekunder, berkurangnya keanekaragaman hayati musuh alami, dan efek residu
yang mencemari lingkungan Selain itu, penyemprotan insektisida tertentu dapat
meningkatkan kepridian dan lama hidup ulat daun kubis seperti penyemprotan
permethrin, acephate, dan quinalpos (Rukmana, 1994).
2.3
Crocidolomia
pavonana
Crocidolomia
pavonana merupakan hama penting pada pertanaman
Brassicaceae. Di Indonesia hama ini dikenal dengan nama ulat titik tumbuh, ulat
krop/ulat hati kubis (Khalsoven, 1981). Perkembangan C. pavonana mengalami
metamorfosa lengkap yaitu stadia telur, larva, pupa dan imago. Stadia yang
merusak tanaman adalah larva. Telur diletakkan secara berkelompok di permukaan
bagian bawah daun. Mula-mula telur berwarna hijau cerah atau kekuningan yang
kemudian berubah menjadi kuning kemerahan hingga coklat tua sebelum menetas.
Jumlah telur perkelompok bervariasi dari 8- 144 telur dengan rata-rata periode
telur 4-8 hari, pada suhu 26-33,2oC (Othman,1982).
Kelompok telur dari C. pavonana tersusun menyerupai atap genteng yang berwarna
kekuningan, berukuran sekitar 3 x 5 mm, diameter 0,7 x 1,0 mm, imago dapat
menghasilkan 11-18 kelompok telur dan masing-masing kelompok telur mengandung
sekitar 30-80 butir telur (Kalshoven, 1981). Mula-mula telur berwarna hijau
muda, jernih dan mengkilap hampir sama dengan warna daun kubis. Mendekati saat menetas
warnanya berangsur-angsur berubah menjadicoklat muda dan menpunyai bintik
hitang ditengahnya. Bintik hitam pada telur itu adalah kepala larva instar
pertama (Lubis, 1982). Lama stadium dari telur ini adalah sekitar 4-6 hari (Balai
Penelitian Holtikultura, 1993).
Larva dari C. pavonana terdiri dari lima instar dan
biasanya dijumpai berkelompok pada bagian bawah daun kubis (Balai
Penelitian Holtikultura, 1993). Larva instar satu berwarna hijau
kekuning-kuningan dengan kepala coklat (Sudarmo, 1992). Tetapi menurut Lubis (1982), larva instar
satu dari C.
pavonana berwarna hijau muda,
kepalanya hitam dengan permukaan tubuhnya ditumbuhi rambut-rambut halus. larva
ini masih lemah dan lebih banyak berdiam diri dengan menutup tubuhnya dengan
benang-benang putih halus yang keluar dari mulutnya. Ukuran tubuhnya rata-rata
1,7 x 0,3 mm.
Larva instar dua yang baru berganti kulit berwarna hijau pucat,
kepalanya berwarna coklat kemerah-merahan. Sewaktu berganti kulit kadang-kadang
sulit ditemukan bekas kulit karena bekas kulit tersebut dimakan oleh larva.
Biasanya yang ditinggal hanya bagian kepalanya yang keras. Pada bagian sisi
dari tubuh larva terdapat pita yang berwarna hijau. Larva instar dua ini sudah
bergerak aktif memakan daun hingga berlubang. Ukuran tubuhnya rata-rata 8,6 x
0,9 mm pada tanaman kubis (Lubis, 1982).
Setelah mencapai instar tiga, larva memencar dan mulai menyerang
daun bagian lebih dalam dan seringkali masuk ke pucuk tanaman serta
menghancurkan titik tumbuh. Apabila serangan terjadi pada kubis yang telah
membentuk krop, larva ini menggorok ke dalam krop dan merusaknya sehingga
darpat menurunkan nilai ekonomi (Permadi, 1993). Di sekitar tubuhnya menumpuk
kotoran larva yang berwarna hijau muda. Ukuran larva rata-rata 13,1 x 1,4 mm (Lubis,
1982).
Larva instar empat berwarna hijau muda pada kubis dan keabu-abuan
pada lobak. Kepala dan tungkainya berwarna kecoklatan.garis hijau yang membujur
pada bagian vertal makin jelas. Larva memakan daging daun dan meninggalkan
tulang daun pada kubis, sedangkan pada lobak seluruh bagian daun dimakannya.
Kotoran larva pada daun makin banyak. Mendekati masa prapupa, larva instar
empat bergerak lamban dan tidak aktif makan. Pada lobak larva menggulung daun.
Ukuran larva instar ini rata-rata 17,5 x 2,6 mm (Lubis, 1982).
Pada instar lima, larva berwarna kuning kehijauan dengan kepala
berwarna kehitaman. Pada bagian punggung dan tubuh bagian samping larva
terdapat garis membujur berwarna coklat (Direktorat Bina Perlindungan Tanaman,
1994). Stadia larva mulai dari instar satu sampai lima berkisar antara 11-17
hari. Larva instar satu 2-4 hari, larva instar dua 1-3 hari, larva instar tiga
1-3 hari, larva instar empat 1-5 hari, dan larva instar lima (prapupa) 3-7 hari
(Othman, 1982).
Larva
berkepompong (berpupa) di dalam tanah dengan kokon yang diselimuti butiran
tanah (Rukmana, 1994). Menurut Suyanto (1994) bahwa pupanya berwarna
kemerah-merahan, terletak di dalam tanah yang terbungkus partikel-partikel
tanah. Ukuran pupa 14.4 x 7,9 mm dan masa pupa berlangsung selama 9 – 10 hari.
Imago (jantan dan betina) yang disebut ngengat keluar dari pupa
dengan memecah bagian ventral toraks. Ngengat yang keluar dari pupa masing
sangat lemah.Setelah lebih dari satu jam baru terbang. Pada kepala terdapat
probosis (belalai) yang menggulung dan antena filiform (seperti benang).
Tungkai depan lebih pendek dari tungakai belakang. Abdomen ngengat yang betina
lebih besar,tetapi lebih pendek dari ngengat jantan. Ujung abdomen yang jantan
lebih tumpul dan lebih banyak ditumbuhi rambut-rambut halus (Lubis,1982).
2.4
Pestisida Nabati secara Umum
Pestisida nabati adalah pestisida yang menggunakan
senyawa sekunder tanaman sebagai bahan bakunya. Beberapa senyawa sekunder
tanaman yang telah berhasil diidentifikasi adalah eugenol, azadirachtin,
geraniol, sitronelol, dan tanin. Senyawa ini mampu mengendalikan berbagai jenis
hama dan penyakit tanaman sehingga berpotensi untuk dikembangkan ( Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2010).
Pemanfaatan pestisida nabati akan berdampak luas
terhadap kelangsungan ekspor komoditas pertanian Indonesia. Hal ini berkaitan
dengan kecenderungan masyarakat internasional yang menghendaki produk pertanian
bebas residu pestisida serta dikelola berdasarkan prinsip pelestarian
lingkungan. Bahan aktif pestisida nabati terbukti kurang toksik terhadap
mamalia serta mampu menjaga kelestarian lingkungan karena tidak membahayakan
organisme bukan sasaran seperti parasit, predator, dan polinator (serangga
penyerbuk). Di alam, bahan aktif pestisida nabati mudah terurai oleh cahaya matahari
sehingga residunya yang terbawa pada produk pertanian dapat diabaikan.
Pestisida nabati juga tidak menyebabkan resistensi hama karena bahan aktifnya
tersusun atas beberapa senyawa kimia. Hal ini menyulitkan serangga untuk
membentuk strain baru yang resisten terhadap senyawa tertentu ( Pusat
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, 2010).
2.4.1 Sirih-sirih (Piper
aduncum L.)
Tumbuhan sirih-sirih merupakan sejenis gulma yang
dapat tumbuh baik di dataran rendah maupun di dataran tinggi. Sirih-sirih
diklasifikasikan ke dalam divisi Spermatophyta, sub divisi Angiospermae, kelas
Dicotyledon, ordo Piperales, family piperaceae, genus Piper, dan spesies Piper aduncum L. (Heyne, 1987).
Tumbuhan ini berasal dari Amerika Selatan dan telah
tersebar di seluruh bagian Amerika tropis, Papua Nugini, Jawa, dan Sumatera
(Orjala et al., 1993).
Sirih-sirih bisa mencapai
tinggi 5-15 m. Batang sirih-sirih berwarna coklat kehijauan, berbentuk bulat,
beruas, dan merupakan tempat keluarnya akar. Daunnya yang tunggal berbentuk
jantung, berujung runcing, tumbuh berselang-seling, bertangkai, dan
mengeluarkan bau yang sedap bila diremas. Panjangnya sekitar 5-8 cm dan lebar
2-5 cm. Bunganya majemuk berbentuk bulir dan terdapat daun pelindung kurang
lebih 1 mm berbentuk bulat panjang. Pada bulir jantan panjangnya sekitar 1,5-3
cm dan terdapat dua benang sari yang pendek sedangkan pada bulir betina
panjangnya sekitar 1,5-6 cm dimana terdapat kepala putik 3-5 buah yang berwarna
putih dan hijau kekuningan. Buah masak warnanya hijau gelap dengan panjang
12-14 cm (Mooryati, 1998).
Bagian sirih-sirih yang
dimanfaatkan adalah daunnya. Daun sirih-sirih mengandung minyak atsiri dengan
senyawa yaitu apiole, flavonoid, lignin, dillapiol fenilpropanoid (Syamsu dan
Hutapea, 1991). Senyawa dillapiol fenilpropanoid bersifat antimakan terhadap
Spodoptera litura (Bastos et al.,
2003 dan Reli et al., 2007). Senyawa
dillapiol fenilpropanoid bersifat racun perut dan kontak terhadap hama
Sitopilus zeamais (Estrela et al.,
2006).
2.4.2 Tanaman Titonia/Kipait (Tithonia diversifolia A. Gray)
Kipait (Tithonia diversifolia A. Gray) merupakan
salah satu jenis insektisida nabati yang sumber bahan bakunya melimpah di
Sumatera Barat. Kipait termasuk family Asteraceae (satu kelompok dengan bunga
matahari) berbentuk semak dengan tinggi 2-3 meter, bunganya berwarna kuning dan
mirip dengan bunga matahari (Wagner et al.,
1999).
Kipait mampu tumbuh di
sembarang tempat dan tanah. Kipait dapat tumbuh baik dari 20 m dpl hingga 900 m
dpl. Di Afrika, kipait sering tumbuh pada lahan bekas atau lahan yang tidak
dimanfaatkan, bahkan dapat digunakan sebagai pupuk hijau, sebagai sumber N dan
K, makanan ternak, kayu bakar, kompos, dan untuk mencegah terjadinya erosi
(Jama et al., 2000). Di Sumatera
Barat kipait banyak tumbuh di pinggir-pinggir jalan (Hakim, 2001).
Menurut Prijono (1999),
jika ditemukan ada sejenis tumbuhan yang tidak terserang oleh hama maka
tumbuhan tersebut mungkin dapat digunakan sebagai insektisida nabati.
Sebelumnya Rejesus et al (1993)
menjelaskan bahwa kipait bersifat racun kontak dan racun pada telur serta
menghambat perkembangan larva Plutella
xylostella dan merupakan racun pada tikus dengan LD 50 besar dari 5000
mg/kg yang diperlakukan secara oral dan LD 50 besar dari 2000 mg/kg yang
diperlakukan secara dermal.
Tumbuhan ini menurut
Kardinan (2002) bersifat penolak makan pada hama Tribolium casteneum, sedangkan
menurut Manjang (2002), dari hasil profil fitokimia tanaman obat di Sumatera
Barat ternyata daun kipait mengandung senyawa alkaloid sehingga dapat digunakan
sebagai obat luka, sedangkan di Kenya digunakan untuk mencegah penyakit malaria
dan obat sakit perut.
Penelitian Dadang (1999),
didapatkan bahwa family Meliaceae dan annonaceae telah diketahui mampu
menghambat pertumbuhan larva Crocidolomia
pavonana, Plutella xylostella, dan Spodoptera
litura. Penelitian Kamal (2006) bahwa kipait lebih bersifat racun perut
terhadap hama Plutella xylostella dan
kurang pengaruhnya terhadap parasitoid Diadegma
semiclausum.
Menurut Perez et al (1992), ternyata ekstrak tumbuhan
titonia mengandung zat tagitinin A, tagitinin C, dan hispudin yang dapat
sebagai feeding deterent dan dapat menekan perkembangan larva dari ordo
lepidoptera dan coleoptera.
2.4.3 Jarak (Ricinus
communis)
Ricinus communis tergolong dalam family Euphorbiaeae, ordo euphorbiales disebut juga
dengan ricinus, palma Christi, castor
oil, dan castor bean (Huzler, 1967). Di Indonesia tanaman jarak mempunyai
banyak sebutan antara lain “kaliki” (Sunda), “jarak” (Jawa), “Kaleke” (Madura),
“gloah” (Aceh/Gayo), “lulang” (Karo), dan “dulang” (Tapanuli) (Sujatmaka,
1991).
Jarak diduga berasal dari
Etiopia lalu tersebar ke semua negara, terutama negara yang beriklim panas
termasuk Indonesia. Bagian tanaman yang secara ekonomis paling menguntungkan
ialah bagian bijinya. Dari biji ini dapat diekstrak sehingga menghasilkan
minyak jarak yang banyak dimanfaatkan oleh industri seperti obat, cat, tekstil,
plastic, dan rem kendaraan. Tanaman ini berupa perdu dan merupakan tumbuhan
setahun yang dapat tumbuh dari dataran rendah sampai 800 m dpl. Tingginya dpat
mencapai 6 meter. Perbanyakan dapat dilakukan dengan biji. Batangnya bulat,
licin, berongga, berbuku, berwarna hijau kemerahan, daunnya tunggal, tumbuh
berseling, tangkai daun panjang ujung meruncing, tepi berigi, berwarna hijau.
Bunga majemuk dan berwarna kuning orange. Buahnya bulat, berduri lunak,
berwarna hijau, berkumpul di dalam tandan dengan tiga ruangan, setiap ruangan
berisi satu biji (Kardinan, 2002).
Daun dan ranting jarak pagar mengandung senyawastigmast - 5 - e n- 3b, 7b - diol; stigmast-5-en-3b,7a-diol;
cholest-5-en-3b,7b-diol; cholest-5-en-3b,7a-diol; campesterol;b-sitosterol. Selain itu terdapat
pula senyawa falvonoid, apigenin, dan
isvitexi n. Batang jarak mengandung asam organik seperti iridoits,s
aponin, tannin, senyawa fridelin, tetrasiklik triterpen ester jatrocurin, dan scopeletin metal ester. Kulit batangnya mengandung senyawab-amyrin, dan tarasterol. Sementara itu akar jarak mengandungb-sitosterol,b-D-glukosida,mar mesin,
propasin, curculathyrane Ada n B, diterpenoid jatrophol, jatropholone
Ada n B, chomarin tomentin, comarino-lignan jatrophin, serta saponinda n
flavonoid. Getah jarak mengandung senyawa curcacyline A dan B, saponin, flavonoida,
tannin, dan senyawa-senyawa polifenol. Pada biji jarak terkandung senyawa alkaloida, saponin, dan sejenis protein
beracun yang disebut kursin. Bijinya juga mengandung 35-45% minyak lemak yang terdiri
atas berbagai trigliserida asam
palmitat, stearat, dan kurkalonat (Kardinan, 2002).
2.5
Jamur yang Dipraktikumkan (Cercospora
sp pada daun rimbang)
Bercak
coklat disebabkan Cercospora canencens ell. et Mart. Jamur ini juga
disebut Isariopsis griseola sacc dan Phaeoisariopsis griserola.
Jamur ini dapat betahan hidup sampai dua tahun pada sisa-sisa tanaman sakit di
dalam biji. Kondisi lingkungan lembab dengan suhu udara antara 20-24oC
sangat cocok untuk berkembangnya jamur ini (Putut, 2007).
Penyebaran
cendawan ini ke tanaman lain dapat dengan perantaraan angin, percikan air, alat
pertanian, serangga dan pekerja kebun. Cendawan ini memiliki konidium berwarna
putih bening berbentuk gada terbalik dan bersekat. Jamur ini merusak klorofil daun
sehingga menyebabkan proses asimilasi berjalan tidak sempurna(Putut, 2007).
Tanaman kacang panjang yg diserang cendawan ini
menunjukkan gejala daunnya berbercak coklat dengan jumlah cukup banyak, bercak
berbentuk bulat dengan diameter antara 1-5 mm dan di sekeliling bercak berwarna
kuning. Di samping itu, bercak pada permukaan daun bagian bawah berwarna hitam.
Pada umumnya, serangan cendawan tersebut banyak terdapat pada daun tua. Pada
serangan berat daun akan layu dan gugur. Cendawan ini dapat menyerang polong,
tangkai daun, biji dan batang. Pada musim kemarau penyakit ini jarang dijumpai
(Putut, 2007).
III.
BAHAN DAN METODA
3.1 Waktu
dan Tempat
Praktikum Pestisida dan
Teknik Aplikasi ini telah dilaksanakan dari tanggal 23 September -25 November 2011
di laboratorium Ilmu Bioekologi
Serangga lantai II
Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas, Padang.
3.2 Bahan
dan Alat
3.2.1
Pengenalan
Pestisida
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum pengenalan
pestisida yaitu berbagai macam pestisida
yang ada di pasaran. Sedangkan Alat- alat yang digunakan yaitu alat tulis
berupa kertas, pena, dan penggaris.
3.2.2
Pengujian
Sintetik
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum pengujian
sintetik yaitu pestisida sintetik dengan
konsentrasi yang berbeda, antara lain Sidametrin
50 EC, daun kubis sebagai pakan, aqadest, dan larva Crocidolomia pavonana. Sedangkan Alat- alat yang digunakan , yaitu
: petri dish, kuas, tissue/kertas saring, dan pinset.
3.2.3
Pengujian
Nabati
Bahan-bahan
yang digunakan pada praktikum pengujian nabati yaitu ekstrak daun Tithonia diversifolia, daun kubis, aquadest dan larva C.
pavonana. Sedangkan Alat- alat yang digunakan yaitu petri dish, kuas,
tissue/kertas saring, dan pinset.
3.2.4
Pengujian
Mikroba
Bahan-bahan yang digunakan pada praktikum pengujian
mikroba yaitu kertas saring (whatman) yang telah disterilisasi, aquadest,
alcohol 70 %, formalin 5% (natrium hipochlorit 1%), tanaman sakit, pestisida
nabati (titonia), dan fungisida (Dithane M45). Sedangkan Alat-
alat yang digunakan yaitu petri dish plastic dan kaca, gelas ukur, gunting,
pisau, dan pinset.
3.3 Cara
Kerja
3.3.1
Pengenalan
Pestisida
Cara
kerja praktikum ini yaitu mengidentifikasi pestisida yang ada di pasaran.
3.3.2
Pengujian
Sintetik
Cara kerja praktikum
ini dapat digunakan 2 cara., yaitu :
a.
Racun Perut
Cara
pertama yaitu dengan racun perut. Ambil 9 buah petri dish plastic, 3 buah diberi label Kontrol, dan 6 buah diberi label
perlakuan, dimana 3 buah untuk Orthene 75SP, dan # buah untuk Dupont lannate.
Lapisi semua petri dish tersebut dengan tissue/kertas saring. Masing-masing
petri dish diisi dengan 5 ekor larva Crocidolomia
pavonana,, kemudian ditutup. Setelah itu potong-potong daun kubis dengan
ukuran sesuai keinginan. Sediakan sebanyak 3
potongan per petri dish. Larutkan masing-masing pestisida ke dalam
tabung, kemudian campur dengan aquadest. Setelah itu, masing-masing pestisda
tersebut dituangkan ke dalam mangkuk yang berbeda. Celupkan 3 potong daun kubis
ke dalam masing-masing mangkuk. Dan kubis untuk kontrol dicelupkan kedalam
aquadest. Kering anginkan potongan-potongan daun tersebut. Setelah kering
masukan secara bersamaan ke masing-masing petri dish sesuai dengan labelnya.
b.
Racun Kontak
Cara kedua
yaitu dengan racun kontak. Timbang pestisda yang akan digunakan sebanyak
konsentrasi yang yang ditentukan. Kemudian masukan ke dalam petri dish,
tambahkan aquadest, lalu aduk. Keringkan dalam lemari/ruang asam selam 1 jam.
3.3.3
Pengujian
Nabati
Cara kerja praktikum ini, yaitu pertama sediakan 9
buah petridish dan lapisi dengan tisu.
Kemudian daun kubis dipotong kecil-kecil dan dicelupkan ke dalam ekstrak daun Tithonia diversifolia. Kering angin
kan, setelah itu dimasukkan 2 potong
daun ke masing-masing petri dish. Selanjutnya letakkan masing-masing 10 larva C. pavonana setiap petridish.
3.3.4
Pengujian Mikroba
Cara kerja praktikum
ini yaitu pertama diambil bagian tanaman yang sakit terserang jamur (tanaman
apa saja). Kemudian dipotong kecil-kecil bagian yang sakit dan dilebihkan
bagian yang sehat. Rendam sebanyak 5 potongan daun ke dalam ekstrak daun
sirih-sirih, fungisida, dan control aquadest masing-masing selama 3 menit.
Kemudian dikering anginkan, dan dimasukkan ke dalam petridish yang telah
dilapisi tissue.
3.4 Pengamatan
3.4.1
Pengenalan
Pestisida
Pengamatan berupa
identifikasi pestisida yang meliputi nama dagang, bahan aktif, formulasi, OPT
sasaran, Nama umum, dan dosis pestisida tersebut.
3.4.2
Pengujian
Sintetik
Pengamatan yang dilakukan yaitu menghitung
mortalitas dari C. pavonana setelah
aplikasi pestisida selama 7 hari berturut-turut.
3.4.3
Pengujian
Nabati
Pengamatan yang dilakukan yaitu menghitung
mortalitas dari C. pavonana setelah
aplikasi pestisida selama 5 hari berturut-turut.
3.4.4
Pengujian
Mikroba
Pengamatan dilakukan terhadap perkembangan jamur
setelah 2x24 jam. Dilihat pada perlakuan apa jamur paling cepat berkembang.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Pengenalan Pestisida
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai
berikut.
Tabel 1. Hasil pengamatan Pengenalan Pestisida
Nama Dagang
|
Jenis Formulasi
|
Wujud fisik
|
Komposisi
|
Bentuk campuran
|
OPT sasaran
|
Jenis
|
Metal
|
EC
|
Kuning pekat
|
Sipermentri
|
Emulsi
|
SE, Plutella, croci
|
Insektisida
|
Ripcord
|
EC
|
Kuning Pekat
|
Sipermetrin
|
Emulsi
|
Serangga
|
Insektisida
|
Condifor
|
SL
|
Pekat Coklat
|
Imodakloprit
|
Larutan
|
Serangga
|
Insektisida
|
Kanom
|
EC
|
Pekat Kuning
|
Dimeroat
|
Emulsi
|
Trips
|
Insektisida
|
Bayluscidae
|
EC
|
Pekat Coklat
|
Niklosamida
|
Emulsi
|
Pomacea sp
|
Moluskusida
|
Tokuthion
|
EC
|
Pekat Kuning
|
Protiofos
|
Emulsi
|
SE,SL, Croci
|
Insektisida
|
Cymbush
|
EC
|
Pekat Coklat
|
Sipermetrin
|
Emulsi
|
Serangga
|
Insektisida
|
Dicofan
|
EC
|
Coklat
|
Dicofol
|
Emulsi
|
Brevipalpus phoenicis
|
Inektisida
|
Metapal
|
WP
|
Bubuk putih
|
Metaldehida
|
Suspensi
|
Agroimax
|
Moluskasida
|
Dupont lannet
|
WP
|
Bubuk putih
|
Metomil
|
Suspensi
|
serangga
|
Insektisida
|
Curacron
|
EC
|
Pekat
|
Profenofos
|
Emulsi
|
serangga
|
Insektisida
|
Mipsin
|
WP
|
Tepung Putih
|
MIPC
|
Suspensi
|
Serangga Insektisida
|
|
Centrafur
|
GR
|
Butiran ungu
|
Karbofuran
|
Tabur
|
Nilaparvata lugens
|
Insektisida
|
Gramoxon
|
EC
|
Larutan hijau
|
Parakuat
diklorida
|
Emulsi
|
Rumput teki
|
Herbisida
|
Nama Dagang
|
Jenis Formulasi
|
Wujud fisik
|
Komposisi
|
Bentuk campuran
|
OPT sasaran
|
Jenis
|
Winder
|
WP
|
Tepung Coklat
|
Imidakklopit
|
Suspensi
|
Mizus persicae
|
Insektisida
|
Pegasusu
|
SC
|
Pekat putih
|
Diafentouron
|
Larutan dalam
|
Serangga
|
Insektisida
|
Difolatan
|
F
|
Cair
|
Tetrachioroethil
|
Emulsi
|
P. infestan
|
Fungisida
|
Roundup
|
AS
|
Cairan Coklat Terang
|
Isoprofilamina
|
Larutan air
|
Gulma
|
Herbisida
|
Demon
|
EC
|
Cairan Kuning coklat
|
Sipermetrin
|
Emulsi
|
Siput
|
Muliscisida
|
Berdasarkan hasil
yang telah diperoleh maka dapat dijelaskan bahwa Pengetahuan pestisida secara keseluruhan akan memudahakan
kita pada saat aplikasi di lapangan.Pengenalan pestisida mulai dari merek
dagang, jenis formulasi, bahan aktif, kadar bahan aktif, sasaran dai penggunaan
pestisida merupakan dasar yang harus dimiliki sebelum aplikasi. Pengenalan
dengan Jenis formulasi akan memudahkan kita dengan bahan apa akan diencerkan
saat aplikasi. Sasaran dari penggunann insektisida perlu diketahui untuk
menghindari salah guna saat aplikasi. Kadar bahan aktif untuk mengetahui
tingkat toksisitas dari pestisida tersebut terhadap OPT, dan untuk penanganan
saat keracunan.
4.2 Pengujian Sintetik
Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 2. Hasil pengamatan Pengujian Sintetik
Perlakuan
|
Hari
Jumlah Ekor
|
|||||||||
h1
|
h2
|
h3
|
h4
|
h5
|
||||||
M
|
H
|
M
|
H
|
M
|
H
|
M
|
H
|
M
|
H
|
|
K
|
0
|
5
|
0
|
5
|
1
|
4
|
1
|
4
|
2
|
3
|
A1
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
A2
|
3
|
2
|
3
|
2
|
3
|
2
|
3
|
2
|
5
|
0
|
Perlakuan
|
Hari
Jumlah Ekor
|
|||||||||
h1
|
h2
|
h3
|
h4
|
h5
|
||||||
M
|
H
|
M
|
H
|
M
|
H
|
M
|
H
|
M
|
H
|
|
A3
|
4
|
1
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
B1
|
2
|
3
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
B2
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
B3
|
1
|
4
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
5
|
0
|
Keterangan :
K : Kontrol
A :
Penggunaan pestisida Sidametrin 50 EC 0,01 pada ulangan ke-
B :
Penggunaan pestisida Sidametrin 50 EC 0,04 pada ulangan ke-
h : Hari
ke-
M : Mati
H : Hidup
Berdasarkan
hasil yang telah diperoleh maka dapat dijelaskan bahwa Larva Crocidolomia pavonana masih mampu
bertahan hidup hingga hari kelima jika pakannya tidak diberi pestisida
sintetik. Hal ini membuktikan bahwa pemberian pestisida pada pakan dari suatu larva
memberi pengaruh terhadap kelangsungan hidupnya. Pestisida merupakan racun bagi
hama, baik sebagai racun kontak, perut, maupun pernapasan.
Selain
itu, penggunaan pestisida sintetik cair yang konsentrasi 0,04 lebih efektif
daripada yang konsentrasi 0,01. Hal ini dikarenakan jumlah larva yang mati pada
perlakuan B (Penggunaan pestisida Sidametrin 50 EC 0,04) lebih cepat yaitu pada
hari kedua semua larva yang diberi perlakuan B sudah mati semua, sedangkan
larva yang diberi perlakuan A (Penggunaan pestisida Sidametrin 50 EC 0,01)
masih ada yang bertahan hingga hari keempat (ulangan kedua). Hal ini
dikarenakan adanya perbedaan jumlah konsentrasi pestisida yang diberikan pada
masing-msing perlakuan. Makin tinggi tingkat konsentrasi pestisida yang diberikan
maka makin cepat larva atau organisme sasaran tersebut mati. Namun, jika
terlalu banyak dan terus-menerus maka dapat menyebabkan organisme sasaran
tersebut menjadi resisten. Larva pada perlakuan B2 mampu bertahan
hidup selain disebabkan jumlah konsentrasi pestisida yang diberikan pada
pakannya lebih sedikit, juga bisa disebabkan larva tersebut lebih resisten
daripada larva-larva lainnya yang diturunkan oleh induknya sehingga mampu
bertahan hidup.
4.3 Pengujian Nabati
Berdasarkan
pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 3. Hasil pengamatan Pengujian Nabati
Perlakuan
|
Hari
Jumlah Ekor
|
|||||||||
h1
|
h2
|
h3
|
h4
|
h5
|
||||||
M
|
H
|
M
|
H
|
M
|
H
|
M
|
H
|
M
|
H
|
|
K1
|
0
|
10
|
0
|
10
|
2
|
8
|
7
|
3
|
8
|
2
|
K2
|
1
|
9
|
1
|
9
|
1
|
9
|
2
|
8
|
3
|
7
|
K3
|
0
|
10
|
1
|
9
|
1
|
9
|
8
|
2
|
8
|
2
|
A1
|
1
|
9
|
1
|
9
|
10
|
0
|
10
|
0
|
10
|
0
|
A2
|
0
|
10
|
1
|
9
|
10
|
0
|
10
|
0
|
10
|
0
|
A3
|
0
|
10
|
0
|
10
|
0
|
10
|
1
|
10
|
3
|
7
|
B1
|
0
|
10
|
0
|
10
|
0
|
10
|
5
|
5
|
6
|
4
|
B2
|
2
|
8
|
2
|
8
|
2
|
8
|
5
|
5
|
5
|
5
|
B3
|
1
|
9
|
1
|
9
|
10
|
0
|
10
|
0
|
10
|
0
|
Keterangan :
K : Kontrol
pada ulangan ke-
A :
Penggunaan ekstrak titonia 3% pada ulangan ke-
B :
Penggunaan ekstrak titonia 5% pada ulangan ke-
h : Hari
ke-
M : Mati
H : Hidup
Berdasarkan
hasil yang telah diperoleh maka dapat dijelaskan bahwa pemberian pestisida
nabati (ekstrak daun titonia) memberi pengaruh terhadap larva Crocidolomia pavonana. Pada kontrol,
jumlah larva yang mampu hidup mengalami penurunan yang cukup drastis ketika
hari keempat. Pada perlakuan yang diberi ekstrak daun titonia 5% lebih banyak
jumlah larva yang mati daripada perlakuan yang diberi ekstrak daun titonia 3%.
Namun, masih ada beberapa larva yang bertahan hidup hingga hari kelima (pada A3,
B1, dan B2). Hal ini dikarenakan jumlah konsentrasi pada
perlakuan B lebih tinggi daripada perlakuan A sehingga memberi pengaruh yang
cukup besar terhadap kelangsungan hidup larva-larva tersebut. Semakin tinggi
konsentrasi pestisida nabati (ekstrak daun titonia) berarti semakin banyak
senyawa kimia yang dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan dari seekor
larva. Menurut Perez et al (1992),
ternyata ekstrak tumbuhan titonia mengandung zat tagitinin A, tagitinin C, dan
hispudin yang dapat sebagai feeding deterent dan dapat menekan perkembangan
larva dari ordo lepidoptera dan coleoptera. Sedangkan larva-larva yang mampu
bertahan hidup hingga hari kelima bisa dikarenakan mereka lebih resisten daripada larva-larva yang
telah mati.
4.4 Pengujian Mikroba
Berdasarkan pengamatan
yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai berikut.
Tabel 4. Hasil pengamatan Pengujian Mikroba
Perlakuan
|
h1
|
h2
|
h3
|
h4
|
h5
|
A
|
-
|
x
|
x
|
x
|
x
|
Perlakuan
|
h1
|
h2
|
h3
|
h4
|
h5
|
B
|
-
|
-
|
-
|
x
|
x
|
C
|
x
|
x
|
x
|
x
|
x
|
Keterangan
:
A :
Penggunaan pestisida nabati
B :
Penggunaan aquades
C :
Penggunaan pestisida sintetik (fungisida)
h : Hari
ke-
- :
Penyakit yang disebabkan oleh jamur pada daun masih hidup
x :
Penyakit yang disebabkan oleh jamur pada daun telah mati
Berdasarkan
hasil yang telah diperoleh maka dapat dijelaskan bahwa penggunaan pestisida
sintetik (fungisida) lebih efektif dalam menekan perkembangan jamur pathogen
pada bagian tanaman dibandingkan penggunaan pestisida nabati ataupun hanya
aquades saja. Hal ini bisa dilihat dari jamur pada daun rimbang yang diberi
perlakuan fungisida lebih cepat mati. Sedangkan jamur pada daun yang diberi
pestisida nabati bisa mati ketika hari kedua setelah diberi perlakuan dan yang
diberi aquades bisa mati ketika hari keempat setelah perlakuan. Hal ini sesuai
dengan sifat pestisida sintetik yang lebih cepat terlihat hasilnya dalam
membunuh pertumbuhan suatu organisme sasaran sehingga penurunan organisme
sasaran terlihat nyata dan waktunya singkat. Untuk perlakuan aquades, seharusnya
jamur pada daun rimbang tersebut bisa terus hidup dan berkembang lebih lama
lagi. Tetapi karena jumlah makanan bagi pathogen jamur tersebut tidak ada lagi
makanya jamur tersebut mengalami kematian.
4.5 Teknik Aplikasi di Lapangan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan maka diperoleh hasil sebagai
berikut.
Tabel 5. Hasil pengamatan Teknik Aplikasi di
Lapangan
Tanaman
|
Penyakit
|
Hama
|
Jeruk Nipis
|
ü CVPD
(Cytrus Vein Phloem Degeneration)
ü Kutu
daun (Myzus persica)
ü Jamur
Embun Jelaga (Capnodium citri)
ü Bercak
daun (Cercospora sp)
|
-
|
Pisang
|
ü Sigatoka
(Mycosphaerella musicolla)
|
-
|
Mangga
|
-
|
ü Penggerek
batang
|
Jagung
|
ü Bercak
Coklat (Helminthosporium maydis)
ü Bercak
Karat (Puccinia sp)
ü Pantoya
(
|
-
|
Cabe
|
ü Gemini
virus
ü Lalat
buah (Dacus dorsallis)
ü Antraknose
(Colletotrichum capsici)
|
-
|
Yang perlu diperhatikan :
1.
Kondisi lingkungan
2.
Alat yang akan digunakan untuk aplikasi harus
sesuai
3.
Kostum yang dapat melindungi pengaplikasi dari
bahaya pestisida
4.
Takaran yang tepat
Dari praktikum lapangan
yang telah dilakukan maka dapat dijelaskan bahwa:
Penggunaan alat dan
penyesuaian waktu dan kondisi lingkungan juga sangat mempengaruhi ke efektifan
dari tindakan aplikasi pestisida dilapangan. Keselamatan juga menjadi faktor
penting yang harus diperhatikan sehingga membutuhkan antisipasi dini misalnya
dengan pemakaian masker ketika sedang aplikasi pestisida dan pemakaian baju
aplikasi yang selalu bersih juga sarung tangan dan lain-lain.
a. Jeruk Nipis
ü CVPD
(Cytrus Vein Phloem Degeneration)
Gejala yang terlihat ada dua yaitu tulang daun hijau
dan tulang daun pucat. Virus ini merusak ploem didalam daun pada masa
generasinya. Pengendalian terhadap vektor virus yaitu kutu daun, Karena
pestisida yang bisa mengendalikan belum ada. Antara kutu dan semut akan
bersimbiosis. Kutu bersifat hermaprodit. Biasanya kutu daun banyak diselimuti
oleh semut.
ü Kutu
daun (Myzus persicae)
Mengisap cairan daun dan buah sehingga menimbulkan
juga penyakit CVPD dan jamur embun jelaga karena sisa sekresi kutu mengandung
gula, disukai oleh semut dan menyebabkan pertmbuhan bagi kapnodium di atas
permukaan maupun di bawah permukaan daun.
ü Jamur
Embun Jelaga (Capnodium citri)
Penyebab
penyakit pada tanaman tapi ia tidak parasit karena memiliki kapnodium sebagai
patogen tapi tidak parasit. Keberadaannya hanya menutupi permukaan daun yang
mengakibatkan fotosintesis pada daun terganggu sehingga proses fisiologis
terganggu dan menyebabkan timbulnya penyakit. Permukaan daun maupun dibawah
permukaan daun akan hitam dan tertutupi semua. Kutu daun sebagai vektor
timbulnya embun jelaga. Sedangkan embun upas tumbuh di ranting berwarna putih
seperti karpet Tindakan pengendalian penyakit jamur Capnodium citri dapat
dilakukan dengan cara mengendalikan populasi hama kutu-kutu daun (aphis) dan
penyemprotan detergen 5% sebanyak dua kali sebulan.
ü Bercak
daun (Cercospora sp)
Bercak daun didalam daun berwarna putih, didalam
lingkaran coklat dan di tengah berwarna kuning muda. Ada halo atau zone pada
permukaannya. Becak berwarna putih menandakan jaringan sudah mati total,
berwarna coklat menandakan jaringan akan mati yang makin lama makin luas.
b. Pisang
ü Sigatoka
(Mycosphaerella musicola Mulder)
Penyakit Sigatoka mulai menyerang tanaman pisang sekitar umur
3 bulan setelah tanam yang makin lama makin meningkat intensitas serangan
penyakit. Setelah jantung keluar seluruh daun dapat terserang penyakit. Factor
iklim terutama curah hujan, embun, dan suhu berpengaruh terhadap produksi dan
gerakan serta penyebaran inokulum penyakit.
Gejalanya mula-mula timbul bercak-bercak kecil pada daun
pisang yang berwarna kuning pucat atau berupa garis-garis yang berwarna kuning
kehijauan dengan panjang 1,0-10 mm dan lebar 0,5-1,0 mm sejajar dengan
tulang-tulang daun. Bercak atau garis-garis ini makin lama makin membesar dan
memanjang sehingga terbentuk bercak-bercak yang berbentuk bulat telur atau elip
berwarna coklat, dan akhirnya seluruh permukaan dapat terinfeksi. Permukaan
daun yang terinfeksi ini menjadi kering, berwarna coklat, dan akhirnya mati.
Pusat bercak seringkali mongering dan berwarna abu-abu terang. Bercak-bercak
ini pada tanaman pisang yang masih muda akan lebih lebar dan lebih membulat
bentuknya dibandingkan bercak pada tanaman pisang yang lebih tua.
Pencegahan dan pengendalian penyakit ini dapat dilakukan
dengan cara sebagai berikut.
a.
Pemupukan yang tepat
b.
Sanitasi sumber infeksi dengan memotong dan membakar
daun-daun mati/sakit.
c.
Perbaikan drainase, penyiangan gulma, mengurangi jumlah
anakan yang ada, dan jarak tanam yang tepat.
d.
Mencegah dan melarang mobilisasi buah dan bahan tanaman
dari tempat atau daerah yang terinfestasi penyakit Sigatoka ke daerah lain yang
masih bebas.
e.
Menanam kultivar pisang yang tahan Sigatoka.
f.
Menggunakan fungisida sistemik.
c.
Mangga
ü Penggerek
batang
Batang bolong sehingga merusak jaringan yang
terdapat di batang dan transportasi penyerapan air tidak berjalan lancar.
Pengendalian dengan mengikis batang dan diolesi dengan bubur bordo.
d. Jagung
ü Bercak
Coklat (Helminthosporium maydis)
Gejala yaitu pada awal infeksi gejala
berupa bercak kecil, berbentuk oval kemudian bercak semakin memanjang berbentuk
ellips dan berkembang menjadi nekrotik dan disebut hawar, warnanya hijau
keabu-abuan atau coklat. Panjang hawar 2,5-15 cm, bercak muncul awal pada daun
yang terbawah kemudian berkembang menuju daun atas. Infeksi berat dapat
mengakibatkan tanaman cepat mati atau mengering dan cendawan ini
tidakmenginfeksi tongkol atau klobot. Cendawan ini dapat bertahan hidup dalam
bentuk miselium dorman pada daun atau pada sisa sisa tanaman di lapang.
Pengendalian dapat
dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.
a.
Menanam varietas tahan Bisma, Pioner2,
pioner 14, Semar 2 dan 5.
b.
Eradikasi tanaman yang terinfeksi bercak
daun.
c.
Penggunaan fungisida dengan bahan aktif
mankozeb dan dithiocarbamate.
ü Karat (Puccinia sp)
Gejala dari
daun jagung yang terserang penyakit karat, akan muncul pustul (bercak yang
timbul) kecil-kecil, warnanya terang, kemerah-merah atau coklat keemasan.
Pustul ini nampak pada kedua permukaan daun, baik pada bagian atas maupun bawah
daun. Warna pustul yang terang akan berubah menjadi coklat kehitaman, dengan
bertambahnya umur dari jagung tersebut (fase generatif). Penyakit
karat dapat terjadi di dataran rendah sampai tinggi dan infeksinya
berkembang baik pada musim penghujan atau musim kemarau.
Pengendalian dapat
dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut.
a.
Menanam varietas tahan Lamuru,
Sukmaraga, Palakka, Bima 1 dan Semar 10.
b.
Mengatur
kelembaban.
c.
Eradikasi tanaman yang terinfeksi karat
daun dan gulma.
d.
Sanitasi
kebun.
Penggunaan
fungisida dengan bahan aktif benomil
ü Layu
Stewart (Pantoea stewartii)
Daun berwarna hijau pucat
kentara.
e. Cabe
ü Gemini
virus
ü Lalat
buah (Dacus ferrugineus Coquillet
atau Dacus Dorsalis Hend)
Gejala :
Lalat ini menusuk pangkal
buah cabe yang terlihat ada bintik hitam kecil bekas tusukan lalat buah untuk
memasukkan telur. Buah yang terserang akan menjadi bercak-bercak bulat,
kemudian membusuk, dan berlobang. Setelah telur menetas jadi larva (belatung)
dan hidup di dalam buah sampai buah rontok dan membusuk larva akan keluar ke
tanah dan seminggu kemudian berubah menjadi lalat muda.
Pengendalian :
a.
Lakukan pergiliran tanaman untuk memutus
rantai perkembangan lalat.
b.
Kumpulkan semua buah cabai yang
terserang dan musnahkan.
c.
Kendalikan dengan perangkap metil
eugenol yang sangat efektif dengan cara memasukkan metil eugenol dalam kapas ke
botol bekas air mineral yang telah diolesi minyak goreng, atau diberi air.
Gantungkan perangkap dipingir kebun.
Pengendalian secara kimia dapat dilakukan dengan
penyemprotan Buldok, Lannate, Tamaron, Curacron 500 EC.
ü Antraknose
(Colletotrichum capsici)
Penyakit ini adalah
penyakit yang sangat menakutkan bagi pekebun. Serangan cendawan ini tidak
terbatas pada saat buah masih tergantung, tetapi juga tetap mengancam setelah
usai panen. Serangan dimulai dari munculnya bercak kuning yang berubah menjadi
cokelat kehitaman. Buah menjadi lunak dan membusuk. Buah mengering dan keriput.
Penyakit ini juga menyerang buah yang masih hijau dan menyebabkan mati ujung.
Pada kondisi lembab cendawan membentuk badan buah dalam lingkaran-lingkaran
berwarna merah jambu. Daun mengering melepuh kebawah dan tetap melekat pada
tangkai gejala ini disebut mumipikasi.
Pengendalian dengan
cara benih yang akan disemai direndam dulu dengan air hangat yang dicampur
fungisida berbahan aktif tofanat, tebukanazol, Thiram atau benomil selama 4
jam. Atur jarak tanam untuk musim kemarau lebih rapat ( 50 cm x 70 cm ), musim
penghujan lebih lebar ( 60 cm x 70 cm ). Semua cabai yang terserang dipanen
setiap hari kemudian dimusnahkan.
4.6 Pengenalan Alat Aplikasi
Alat-alat yang diperkenalkan antara lain :
1.
Hand
sprayer : hand spayer merupakan
alat aplikasi pestisida yang paling kecil dan sederhana, yang merupakan alat
semprot.Kapasitas tangki maksimal 5 liter. Dengan ukuran yang kecil sehingga
memudahkan pada saat aplikasi dilapangan. Penyemprotan pada bagian tanaman yang
terserang hama dan penyakit, tetapi tidak efektif untuk lahan yang luas.
2.
Sprayer Manual : Merupkan jemis alat aplikasi
yang paling banyak digunakan oleh petani. Tekanan yang dihasilkan berasal dari
tenaga manusia dengan cara menggerakkan handel pompa. Jenis dari alat ini
terdiri dari sprayer manual yaitu knap
sack sprayer bertekanan undara.
3.
Sprayer mesin : Alat aplikasi ini menggunakan
mesin untuk menggerakakn pompa sebagai pengganti tenaga manusia.
Fungsi utama semua jenis alat pengendalian adalah untuk
membantu mengendalikan suatu organisme pengganggu tanaman sasaran sehingga
diperoleh hasil yang efektif dan efisien hingga di bawah batas nilai ambang ekonomi, tanpa
menimbulkan dampak yang merugikan seperti : terjadinya resistensi, resurgensi, keracunan
tanaman pokok, dan pencemaran lingkungan. Berbagai jenis dan tipe alat pengendalian yang digunakan
saat ini sebagian besar adalah alat pengendalian untuk mengaplikasikan
pestisida, dan beberapa alat yang digunakan untuk pengendalian secara
fisik/mekanik.
Alat pengendalian untuk aplikasi pestisida bertujuan untuk
menghasilkan butiran-butiran cairan atau percikan-percikan (droplet) yang
berasal dari cairan yang ditempatkan di dalam salah satu bagian dari alat
tersebut. Cairan yang disemprotkan dapat berupa larutan, emulsi, atau suspensi.
Alat aplikasi pestisida yang efisien dapat menjamin penyebaran bahan yang rata
pada sasaran tanpa pemborosan. Selain itu pekerjaan dapat dilakukan dengan
cepat dan dengan jumlah tenaga kerja minimal.
Saat ini tersedia berbagai macam jenis alat aplikasi pestisida baik tipe maupun mereknya. Tergantung pada konstruksinya, alat semprot dapat menghasilkan butiran halus dengan diameter 100 – 200 mikron, atau butiran sedang dengan diameter 250 – 400 mikron, dan butiran besar dengan diameter lebih dari 400 mikron. Sebagai sumber tenaga dapat berupa tenaga manusia, atau mesin. Alat semprot yang memerlukan tenaga manusia tergolong dalam alat semprot manual, sedang alat semprot mesin disebut alat semprot bermotor. Untuk dapat memilih jenis alat yang efisien, serta menggunakannya dengan baik, maka setiap pemakai alat aplikasi pestisida perlu mengetahui macam serta fungsi semua komponen yang terdapat pada berbagai macam tipe alat tersebut. Pengetahuan tentang alat aplikasi pestisida akan sangat bermanfaat pula dalam usaha pemeliharaan dan mengatasi kerusakan-kerusakan alat aplikasi tersebut.
Saat ini tersedia berbagai macam jenis alat aplikasi pestisida baik tipe maupun mereknya. Tergantung pada konstruksinya, alat semprot dapat menghasilkan butiran halus dengan diameter 100 – 200 mikron, atau butiran sedang dengan diameter 250 – 400 mikron, dan butiran besar dengan diameter lebih dari 400 mikron. Sebagai sumber tenaga dapat berupa tenaga manusia, atau mesin. Alat semprot yang memerlukan tenaga manusia tergolong dalam alat semprot manual, sedang alat semprot mesin disebut alat semprot bermotor. Untuk dapat memilih jenis alat yang efisien, serta menggunakannya dengan baik, maka setiap pemakai alat aplikasi pestisida perlu mengetahui macam serta fungsi semua komponen yang terdapat pada berbagai macam tipe alat tersebut. Pengetahuan tentang alat aplikasi pestisida akan sangat bermanfaat pula dalam usaha pemeliharaan dan mengatasi kerusakan-kerusakan alat aplikasi tersebut.
Keberhasilan penggunaan pestisida sangat
ditentukan oleh teknik aplikasi yang tepat, yang menjamin pestisida tersebut
mencapai organisme sasaran dimaksud, selain juga oleh faktor jenis, dosis dan
saa aplikasi yang tepat.Dengan kata lain tidak ada pestisida yang dapat
berfungsi dengan baikkecuali bila diaplikasikan dengan tepat. Aplikasi
pestisida yang tepat dapat didefinisikan sebagai aplikasi pestisida yang
semaksimal mungkin terhadap sasaran yang ditentukan, pada saatyang tepat,
dengan liputan hasil semprotan yang merata dari jumlahpestisida yang telah
ditentukan sesuai dengan anjuran (dosis).
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa pestisida sintetik lebih efektif dalam
membunuh, mengurangi, dan menghambat OPT di lapangan daripada penggunaan pestisida
nabati.
5.2 Saran
Kepada
praktikan selanjutnya disarankan lebih banyak berdiskusi dengan asisten tentang cara
aplikasi yang baik dan benar serta dalam
melakukan praktikum sebaiknya dilakukan dengan serius dan teliti.
DAFTAR
PUSTAKA
Balai Penelitian Holtikultura, 1993. Kubis. Badan Penelitian Pengembangan. Lembang.
Bastos, C. N.,
Silva, D. H. M. M., Guimaraes, E. F., Andrade, E. H. A., Maia, J. G. S. 2003. Atividade Bactericida. E Composicao De Oleos
Essenciais De Piper Soe. Documentos, IAC, Campinas.
Cahyono, B. 2002. Cara
Meningkatkan Budidaya Kubis : Analisis Kelayakan Secara Intensif Jenis Kubis
Putih. Yayasan Pustaka Nusatama. Yogyakarta.10 hal.
Dadang. 1999. Sumber Insektisida Alami. Bahan
Pelatihan Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami. Pusat Kajian PHT.
IPB. Hal 8-20.
Direktorat Bina
Perlindungan Tanaman. 1994. Pengelolaan Organisme Pengganggu Tumbuhan secara
Terpadu pada Tanaman Kubis. Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Jakarta.
Estela, V. L. J.
Fazolin, M. Catani, M. Alecio, R. M., Lima, S. M. 2006. Toxicidade De Oleos Essenciais De Piper aduncum Piper hispidinervumem
Sitophilus zeamais. Agropec. Bras. Brasilia.
Hakim, N. 2001. Kemungkinan Penggunaan Tithonia (Tithonia diversifolia) Sebagai Bahan Organik dan Nitrogen. Laporan
P3IN. Universitas Andalas. Padang. 8 hal.
Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid II.
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan Indonesia.
Intan Pratidina.
2008. Pemisahan
dan Pencirian Senyawa Aktif Daun Kepayang dan Pengaruhnya Pada Uat Kubis Instar
III
[skripsi]. IPB. Bogor. 16 hal.
Jama, B.A., C. A. Palm, R.J. Buresh, A.I. Niang, C. Gachego, Nziquheba
and B. Amadado. 2000. Tithonia
diversifolia as A Green Manure for Improvement of Soal Fertility in Western
Kenya. A. Review. Agroforestry System.
Kardinan, A.
2002. Pestisida Nabati Ramuan dan
Aplikasi. Penebar Swadaya. Jakarta. 69 hal.
Khalsoven,
L.G.E. 1981. The pest of crop in
Indonesia. Revised and Translated by Vendeer Loan. P.T. Ichtiar
Baru-Vanhoove. Jakarta. 701 hal.
Lahmuddin Lubis. 2004. Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Kubis
(Brassica Oleracca) Dan Kentang (Solanum Tuberosum). USU. Medan. 5 hal.
Lubis, A.H. 1982. Biologi
Crocidolomia binotalis Zeller (Lepidoptera : Pyralidae) pada Tanaman Kubis dan
Lobak. Departemen Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Manjang,
Yunazar. 2002. Penelitian Kimia Organik
Bahan Alam, Pelestarian, Pengembangan Melalui Taman Agrowisata. Dalam
workshop Peningkatan Sumber Daya Manusia Kajian Kimia Organik Bahan Alam Hayati
dan Pelestarian Hutan. Padang 21-27 Juli 2002. 48 hal.
Mooryati, S.
1998. Alam Sumber Kesehatan. Balai
Pustaka. Jakarta. 347-349 hal.
Orjala, J. C. A.
J. Erdelmeier, A. D. Wright, and O. Sticher. 1993. Two Chronmones and A Prenylated Benzoic Acid Derivate From Piper
aduncum Phytoalexin.
Othman, N. 1982.
Biology of Crocidolomia binotalis and its
Parasites from cipanas Area, West java ( A report of Training course
Research). Bogor. 52 hal.
Perez, A. H., M.
O. Lara and R. D. V. Alfonso. 1992. Sesqueterpencids and diterpenoid from
Tithonia longaradiata Inst. Quin. University Nae, Autum Mexico, Coyoacam, Max.
Phytochemestry. 32 (12): 4227-4231 hal.
Pracaya, 1989. Kol
analisis Kubis. Penebar Swadaya. Jakarta.
Prijono, Djoko. 1999. Prospek dan
Strategi Pemanfaatan Insektisida Alami dalam PHT. Dalam Bahan Pelatihan
Pengembangan dan Pemanfaatan Insektisida Alami. PKPHT, IPB. Bogor 9-13 Agustus
1999. 86 hal.
Pusat Penelitian
dan Pengembangan Perkebunan.2010.Peran
Pestisida Nabati.Jurnal
Putut. 2007. Bercak Cercospora Kacang Panjang. Diacsess 02 Desember 2011.
http://penyakitutama.blogspot.com/2007/09/penyakit-kacang-panjang-4.html.
Rejesus, M. B.,
H. A. Maini, V. R. Ocampo, F. M. Dayrit and E. G. Quintana. 1993. Insecticidal Actions of Several Philippine
Plants With Emphasis on Vitex Negundo L. The Philippine Agriculturist 76.
(4) pp. 355-371 hal.
Rizal,V. dan Tahjadi. 2001. Alternatif Pengendalian Hama. PAN Indonesia.
Jakarta. 63 hal.
Rukmana,
R. 1994. Bertanam Kubis. Kanisisus. Yogyakarta.
Sarjan, M. 2004. Pengelolaan Hama Terpadu Dalam Perspektif Sistem
Pertanian Berkelanjutan Di Era Galobalisasi. Orasi Ilmiah Dies Natalis UNRAM. Fakultas Pertanian
Universitas Mataram. 37 hal.
Sudarmo,
S. 1992. Pestisida dan Hama Tanaman.
Kanisius, Jakarta.
Sujatmaka. 1991.
Prospek Pasar dan Budidaya Jarak.
Penebar Swadaya. Anggota IKAPI. Jakarta. 35 hal.
Suyanto,
A. 1994. Hama Sayur dan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Syamsu, H. dan
J. R. Hutapea. 1991. Inventarisasi
Tanaman Obat Indonesia. Departemen Kesehatan RI. Badan Litbang Kesehatan.
Jakarta.
Wagner, W. L., Herbst and S. H. Sohmer. 1999. Manual of Flowing Plants of Hawai. 1 hal.
Wikipedia.2011. Pestisida.http//pestisida.co.id (diakses
1 Desember 2011)
Langganan:
Postingan (Atom)